Pendidikan
merupakan invetasi bagi suatu negara. Pendidikan menyangkut kepentingan
semua warga negara, masyarakat, institusi dan berbagai kepentingan lain. Ini
disebabkan pendidikan berkaitan erat dengan hasil yang terjadi setelah pelaksanaan kegiatan jangka pendek ke beberapa tersedianya Sumber
Daya Alam atau SDM yang handal untuk menghadapi tantangan zaman. Oleh sebab itu, titik
berat pembangunan pendidikan terletak pada peningkatan mutu dari setiap
jenjang, serta perluasan kesempatan belajar pada anak didik. Namun,
kenyataannya membuktikan bahwa pendidikan masih belum dianggap suatu hal yang
vital, khususnya oleh para pemegang kekuasaan tertinggi kepemimpinan negara.
Bangsa Indonesia
pada baru-baru ini memang saya
rasa sedang berada di ambang kekacauan. Terutama dalam dunia pendidikan. Kenapa
pendidikan di Indonesia sedang diambang kekacauan? sedangkan berbagai prestasi
yang ditorehkan oleh anak-anak terdidik sampai saat ini telah menunjukkan
prestasi yang sangat menggembirakan. Kita ambil contoh saja ketika sekumpulan
anak SMK dari Jogja yang berhasil menciptakan mobil SMK. Belum lagi karya dari
seorang pria kelahiran karang anyar yang bernama Warsito Purwo Taruno. Ia
adalah seorang yang berbekal pendidikan hingga jenjang s3 di Jepang dan
pengalaman riset di Amerika, sehingga ia berhasil menemukan sebuah alat
pembasmi kanker. Belum lagi seperti
penemu kompor biomasa yang ditemukan oleh Muhammad Nurhuda. Namun, lagi-lagi
karya anaka Bangsa telah terkena imbas dari kepentingan negara yang tak bisa
dipungkiri telah termonopoli hanya karena kepentingan mereka, bukan untuk
kepentingan bersama.
Kalau kita
teliti lebih dalam sesungguhnya prestasi yang ditorehkan seperti yang saya
contohkan diatas adalah berangkat dari ketrampilan dan kreatifitas. Karena
bukan hal yang tidak mungkin ketika orang yang bersekolah tinggi tidak akan
bisa menciptakan sebuah karya yang sangat membanggakan.
Pendidikan di
Indonesia sangatlah mengabaikan latihan-latihan atau memahami pelajaran serta
kebiasaan belajar dengan hal yang tidak biasa yang bertujuan untuk lebih
meningkatkan kualitasnya tersebut dengan maksimal yaitu melakukan perbaikan dan
meraih kehidupan yang lebih baik, itu masalah yang pertama. Dan masalah yang
kedu, yaitu monopoli dari
pemerintah yang tidak memperhatikan setiap garis
dari permasalahan pendidikan, terutama kompeten dan potensi di daerah plosok. Gonta
ganti kurikulum telah sering dilakukan. Masih ingatkah ketika kurikulum 13 yang
hanya bertahan sangat sebentar saja, lalu berubah lagi dengan kurikulum yang
lainnya? atau kembali ke kurikulum yang pernah dilaksanakan sebelumnya?
Kita tahu bahwa kurikulum
13 atau K13 ini dijadikan jawaban atas persoalan yang melanda negara ini. Namun, bagaimana
dengan kualitas tenaga pengajar atau yang sering kita sebut dengan si guru
untuk mengaplikasikan kurikulum 13 atau K13 tersebut? bagaiamana dengan daerah
tertinggal seperti daerah plosok dalam
mengalikasikan kurikulum 13 atau K13, sedangkan di sisi lain masih banyak yang
menyebabkan mereka belum siap untuk menerima kurikulum 13 atau K13 tersebut? permasalahan
yang ketiga sering sekali kita menjumpai bahwa guru adalah tenaga pendidik yang
merasa mempunyai kekuasaan kebenaran, dan apabila kita tarik garis sebelumnya
pasti kekuasaan kebenaran itu berangkat dari ke-ego-isan. Sedangkan maksud dari
kekuasaan kebenaran seorang guru itu adalah guru mempunyai banyak kebenaran di
depan murid-muridnya, karena guru merupakan sebagai patokan atau contoh atau
pendidik dari murid-muridnya tersebut, sehingga seorang guru pasti memiliki kekuasaan
kebenaran. Salah satu alasan mengapa sekolah gagal mendidik murid, karena sistem pendidikan
yang tidak bisa berpacu mengimbangi perkembangan dari anak itu sendiri.
Saya
klasifikasikan dalam dunia pendidikan sekarang pada dua tipe. Pertama, yaitu
mereka menjadikan dirinya sebagai bertipe pengemudi,
yaitu dialah anak-anak yang kelak akan mampu
untuk bagaimana cara bertahan hidup dengan mandiri.
Dan yang kedua, yaitu
mereka menjadikan diri mereka bertipe penumpang, dan inilah generasi anak
Bangsa yang sering orang sebut dengan generasi anak mami. Generasi anak mami
yang sering mengalami depresi akan beratnya tekanan dari pendidikan itu sendiri
merupakan suatu contoh dari kesalahan mendidik murid ditinjau dari sitem.
Dimana anak dituntut untuk mendapatkan nilai angka setinggi-tingginya. Berpacu
dengan teman-temannya, saling menjegal dan bahkan sering juga menghalalkan
segala cara untuk memenagkan kompetisi dalam bentuk nilai angka dalam rapot.
Pernah saya
mengalami hal yang demikian. Ketika awal masuk sekolah tingkat pertamaa atau bisa disebut dengan SMP, saya sempat mengalami
depresi yang berat. Hal ini dikarenakan
kurangnya
adaptasi saya terhadap lingkungan, belum lagi terhadap mata pelajaran yang
semakin hari bertambah sulit.
Anak-anak
sekolah seakan-akan terisolasi dengan lingkungannya tersebut. Generasi anak mami
yang dibentuk oleh para tenaga pengajar yang saya rasa untuk menjadi mesin yang
layaknya yang siap jual, namun kenyataannya orang tua mengalami kesulitan untuk
menemukan pekerjaan atau wirausaha untuk anaknya. Generasi yang dimana telah
tertanam pada pemikiran mereka
bahwa memperoleh segala sesuatu dengan mudah. Hal ini bisa dibaca bahwa pikiran
mereka terhenti dan berlindung terus
dibalik kemudahan hidup. Hidup mereka sudah dianggap selesai karena kurang
menghargai arti sebuah perjuangan.
Hal ini sangat
berbeda jauh ketika pendidikan bermodelkan alam yang berarti 70% adalah
praktek dan 30% adalah teorinya, yang
pendidikan bermodel alam tersebut sangat berbanding
lurus dengan sistem di negara kita. Yang dimana 30% adalah praktek dan 70% adalah
teori. Sehingga bukan suatu hal yang menjadi pantangan ketika dimulai sejak
masih SD (sekolah dasar) kita sudah dituntut untuk menghafalkan beratus-ratus
teori, seperti perkalian serta rumus-rumus matematika atau MTK, tenses pada
mata pelajaran muatan lokal seperti bahasa Inggris, dan masih banyak lagi
pelajaran-pelajaran yang harus kita hafalkan. Dan hal itu akan berefek pada
kejenuhan bagi yang tidak kuat. Bagaimana semestinya guru dan sekolah
menjadikan belajar sebagai suatu hal yang menyenangkan, menarik dan menawarkan
penglaman menantang. Justru malah menyiksa para peserta pendidik itu sendiri.
Karena hidup yang tidak berarti adalah ketika tidak mau menghadapi tantangan
sama sekali.
Kalau saya boleh
analogikan, mungkin gedung sekolah saya ibaratkan sebuah pabrik yang dimana
guru adalah seorang buruh pekerja. Seorang buruh pekerja pasti akan mematuhi
perintah dari meneger pabrik yang tak lain menjadi meneger tentunya adalah
pemerintah itu sendiri. Sedangakn
murid baru adalah barang mentah yang harus mereka olah untuk menjadi barang
siap saji seperti montor. Kita tahu bahwa montor terbitan tahun 90-an pasti
akan kesulitan untuk laku apabila terjadi sekenario menjual ditahun modern seperti sekarang.
Yaaa, pada tahun 2016. Yang notabennya telah melewati berbagai macam produksi
jenis dan model montor yang lebih menarik. Sehingga sekenarionya adalah montor pada
terbitan tahun 90 tidak akan laku dan akan dihancurkan. Begitu juga dengan seorang
murid yang hasil langsungnya masa dulu tidak akan laku dijual pada masa
sekarang, dan imbasnya ia harus siap ditindih oleh zaman. Siapa yang disalahkan?
meneger, pekerja, atau malah barang mentah itu sendiri?
Kita harus
menemukan aspirasi baru untuk menyelesaikan berbagai tantangan dalam pendidikan
dari perubahan satu ke perubahan yang lainnya, terutama para tenaga pengajar,
sistem pendidikan itu sendiri. Isu-isu sosial yang diuraikan agar mampu
menggugah kesadaran akan pentingnya proses pembelajaran demi memperbaiki
kualitas bangsa.
Jadi,
perubahan social yang dilihat dari aspek kaidah, nilai, perilaku dan pelapisan
dalam dunia pendidikan adalah nilai andap ashor yang merupakan efek dari system
yaitu guru yang kurang integritas yang mengakibatkan nilai andap ashor seorang murid
berkurang dan berfikiran secara konsep yang lebih mementingkan sisi kepraktisan
dibandingkan sisi manfaatnya, sehingga hasil langsung dan hasil dalam jangka
waktu yang lama dari dunia pendidikan itu akan dipertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar