Senin, 01 April 2019

BAHAYA LATEN KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME



DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME (KKN) BAGI MASYARAKAT DI INDONESIA


A.    Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi bisa disebut dengan perbuatan menyelewengkan/ menyalahgunakan/ menggelapkan uang negara atau uang yang bukan haknya hanya untuk kepentingan pribadi maupun orang lain. Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain sebagainya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan pada negara. Korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji yang dapat merugikan suatu bangsa dan negara.
Pada umumnya, korupsi adalah benalu sosial yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain itu, korupsi merupakan  bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi menyimpang, karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika, melanggar aturan hukum, dan terlebih melanggar aturan agama.
Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus yang terbilang cukup banyak. Akan tetapi, banyak juga kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan yang telah dibungkar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa unsur-unsur tindak pidana korupsi antara lain:
1.      Perbuatan melawan hukum;
2.      Penyalahgunaan kewenangan;
3.      Kesempatan atau sarana memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi;
4.      Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
2.      Penggelapan dalam jabatan;
3.      Pemerasan dalam jabatan, dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/ penyelenggara negara);
4.      Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/ penyelenggara negara).

B.     Kolusi
Kolusi adalah tindakan persekongkolan, persekutuan atau permufakatan untuk urusan yang tidak baik. Kolusi ini biasanya diwarnai dengan korupsi yaitu penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh salah satu pihak atau pejabat negara. Kolusi adalah suatu kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara, kerja sama secara rahasia, ilegal, dan melanggar hukum hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi para pelakunya.
Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.

C.    Nepotisme
Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. perbuatan mengutamakan kerabat atau keluarga sendiri didasari rasa kesukaan dan kecenderungan bukan karena kemampuan, untuk memegang suatu jabatan. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.

D.    Undang-Undang tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Walaupun sudah sangat jelas ditegaskan di dalam UUD, namun masih saja KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) banyak diperaktikkan dalam kehidupan nyata baik itu di dunia secara umum atau di Negara Indonesia secara khusus.

E.     Dampak dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Kumpulan penyakit yang kemudian dikenal dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) ini dianggap telah menggerogoti institusi-institusi pemerintahan dan institusi politik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Korupsi dan kolusi, telah menjadi salah satu prioritas. Pembentukan dan sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi senjata ampuh guna meredam kegiatan korupsi di segala lini pemerintahan. Hasilnya, banyaknya pejabat pusat dan daerah, maraknya anggota dewan yang terjaring akibat kasus-kasus korupsi. Berbeda dengan kedua virus tersebut, saudara dekat mereka, yakni nepotisme seolah-olah tidak menjadi perhatian serius oleh sebagian pihak. Mungkin nepotisme tidak terlalu mencolok dan menimbulkan kerugian yang terlampau besar. Melalui nepotisme, terjalin jejaring, terutama keluarga yang erat sehingga tidak ada fungsi saling mengontrol yang ketat, dan tentu saja berpotensi untuk saling “memaafkan” jika terdapat sebuah kesalahan (eror) yang memiliki implikasi-implikasi tertentu.
Dalam prakteknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang otentik. Di samping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi di mata masyarakat.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) juga menjadi penyebab rendahnya daya saing suatu daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/daerah maupun semakin jeleknya kualitas dan kuantitas layanan publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuh kembangnya budaya dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust terhadap pemerintahnya. 
Perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. 
1.      Bahaya Laten Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Bahaya laten adalah sebuah kondisi keadaan yang menjadi sangat berbahaya jika hal tersebut benar-benar terjadi karena dapat merusak konsep dan keseluruhan nilai yang ada. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dapat menjatuhkan sebuah rezim dan bahkan menyengsarakan suatu bangsa sebab korupsi merupakan suatu penyelewengan untuk kepentingan pribadi, sedangkan kolusi merupakan suatu persekongkolan rahasia untuk maksud dan tujuan yang tidak terpuji dan npotisme merupakan suatu kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara sendiri dalam suatu jabatan dilingkungan pemerintahan.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar). Menurunnya tingkat kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN.
2.      Akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Akibat korupsi adalah ketidak-efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha, terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Akibat-akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini adalah sebagai berikut:
a.       Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap;
b.      Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya;
c.       Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

F.     Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap produk-produk hukum di atas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa ke meja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi di lapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus di masa orde baru ada yang sampai ke meja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang diputuskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita Acara Perkara-nya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. 
Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan  semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata rantainya.

Rabu, 27 Maret 2019

KETIDAKADILAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA





Negara Indonesia adalah negara hukum, kenapa dimikian? Karena segala sesuatu diselenggarakan dengan hukum dan berdasarkan hukum, hal ini dinyatakan bahwa negara Indonesia memiliki hukum yang wajib ditaati oleh semua masyarakat Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berdasakan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dapat diartikan bahwa negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan belaka, Negara Indonesia mempunyai 4 (empat) pilar negara sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia. Negara Indonesia didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi, serta setiap warga Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Hukum membatasi dan sekaligus memperkaya kemerdekaan warga negara. Hukum menekankan dampak negatif dan dampak positif yang ditimbulkan oleh warga negara. Hukum sendiri memiliki fungsi untuk mengatur suatu negara agar taat dan patuh pada peraturan di dalamnya. 
Sebagai negara hukum, tentunya penegakan hukum yang tidak memihak telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) di mana semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Untuk menerapkan Negara hukum, Indonesia dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip yang dijalankan oleh negara hukum. Setiap manusia berhak memperoleh keadilan, baik itu dari masyarakat maupun dari negara. Seperti yang tercantum dalam pancasila, sila ke-5 yang berbunyi, “keadlian bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada saat ini, Negara Indonesia telah berkembang menjadi salah satu negara yang sedang berproses disegala bidang yang khususnya pada bidang hukum. Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM) hukum harus menjadi panglima di dalam kerangka NKRI yang dinaungi oleh konstitusi negra UUD 1945 dan dasar negara pancasila. 
Ketika suatu negara berpatok kepada hukum yang mengatur, secara otomatis menjadikan penegakan hukum di dalam suatu negara hukum tersebut. penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegak hukum adalah sebuah proses dalam menegakkan hukum sesuai dengan norma yang berlaku di Indonesia secara benar. Tujuan dari penegakan hukum adalah untuk mencari kebenaran, keadilan, dan menciptakan kedamaian. Prosedur hukum pun sudah disusun sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya, yaitu suatu jaminan perlindungan hak dan keadilan. Namun, proses penegakan hukum di Indonesia tak pernah luput dari berbagai sorotan karena penanganan kasus-kasus hukum kerap dibelok-belokkan oleh para penegak hukumnya sendiri. Itulah yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum pun akhirnya luntur.
Secara luas, proses dalam penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa sajakah yang menjalankan aturan normatif atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, maka hal itu berarti telah menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Sementara, secara sempit dari aspek subjeknya, maka penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk dapat menjamin dan memastikan bahwa aturan  hukum itu  berjalan  sebagaimana  yang telah diatur seharusnya oleh aturannya. Hal ini untuk memastikan tegaknya  hukum,  apabila diperlukan untuk itu, maka aparatur  penegak  hukum  diperbolehkan akan menggunakan upaya daya paksa. Di dalam sudut pandang objeknya, yaitu dari aspek hukumnya penegakan hukum itu adalah pengertiannya juga mencakup makna luas dan sempit. Dalam arti luas, maka penegakan hukum mencakup pula adanya nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam bunyi aturan formal  atau nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hal yang berbeda di dalam arti yang sempit, maka penegakan hukum hanya terbatas kepada menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja dan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan aturan tersebut. Namun di lapangan penegakan hukum itu tidak seindah yang digambarkan oleh teori-teori hukum dan peraturan yang telah mengaturnya. Terdapat lebih dari satu masalah-masalah penegakan hukum dan untuk dapat membahas penegakan hukum lebih dalam dan dapat lebih jelas permasalahannya, maka dengan memperhatikan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi efektifitas dari penegakan hukum.
Adapun pihak penegak hukum yang merupakan aparat yang melaksanakan proses upaya untuk tegaknya atau berfungsinya noram-norma  hukum secara nyata, untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum. Penegak hukum adalah seorang yang berwenang dalam menjalankan aturan atau menjadi pemberi sanksi bagi pihak yang melanggar hukum. Aparat penegak hukum di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi (pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003), kepolisian Negara Republik Indonesia (pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002).
Setiap warga Negara Indonesia yaitu negara hukum, memiliki harapan tersendiri terkait penegakan hukum yang memberikan perlindungan bagi setiap individu. Pada tataran konsep dan teori, penegakan hukum yang memberikan perlindungan bagi setiap individu merupakan hal ideal dan sifatnya wajib untuk dilaksanakan, namun pada tataran penerapan, hukum belum cukup melindungi masyarakat pencari keadilan (justitiabelen), terutama yang berkaitan dengan keadilan, kepastian hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan pemenuhan hak asasinya. 
Memang benar kondisi penegakan hukum di Indonesia secara umum dapat diibaratkan sebagai benang kusut yang disebabkan judicial corruption yang telah membudaya dan pola berpikir aparat penegak hukum terkait hak asasi manusia yang harus dilepaskan dari kultur lama. Di bidang hak asasi manusia, sayangnya, sebagian masyarakat Indonesia telah berubah dari masyarakat majemuk yang memiliki rasa sosial yang tinggi menjadi manusia Indonesia yang memiliki degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan. Hal ini diperlihatkan dengan aksi intoleransi, kekerasan, anarkisme, perlawanan terhadap petugas atau sebaliknya, saling serang antar golongan, dan lain-lain.
Hal tersebut dapat terjadi karena penegakan hukum tak berjalan sesuai dengan harapan sehingga masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri melalui bentuk-bentuk pengadilan massa yang berujung pada tindakan-tindakan pelanggaran HAM. Bahkan di lain sisi, sejarah menceritakan ada juga penegak hukum yang seharusnya melindungi hak asasi manusia warganya, malah berbuat sebaliknya. Penegakan hukum yang seharusnya adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang. Masyarakat tidak mungkin hidup tanpa hukum, karena norma-norma hukum itulah yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat.
Penegakan hukum di Indonesia terkesan masih berat sebelah, tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Maksudnya penegakan hukum di Indonesia tidak sama antara rakyat kecil dan para penjabat Negara. Hal yang tidak bisa dipungkiri pada jaman sekarang, orang yang lemah akan semakin ditindas. Hal ini banyak terlihat dalam hal penegakan hukum, masyarakat kecil sering dimarginalkan. Di tengah ketidakmampuan, mereka tidak mendapatkan bantuan hukum yang benar dan mamadai. Hukum hanya tajam kepada rakyat kecil. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi kalangan atas atau penjabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Penegakan hukum merupakan kewibawaan suatu negara sehingga hukum harus ditegakkan. 
Untuk menerapkan Negara hukum, Indonesia dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip yang dijalankan oleh negara hukum yang terdiri dari supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independen, peradilan bebas dan tidak memihak, perlindungan hak asasi manusia yang bersifat demokratis sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan menciptakan transparansi serta kontrol sosial. Penerapan hukum itulah dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, disamping sebagai alat pengendalian sosial. Namun dalam pelaksanaannya, beberapa kasus yang muncul akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hukum tidak memihak bagi warga kurang mampu.
Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Saat ini hukum di Indonesia yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat Negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik Negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Karena hukuman itu cenderung hanya berlaku bagi orang miskin dan tidak berlaku bagi orang kaya, sehingga tidak sedikit orang yang menilai bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang. Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. 
Penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Itu terlihat dari tidak tercapainya tujuan utama dari hukum di Indonesia itu sendiri yaitu keadilan bagi seluruh rakyatnya. Sepertinya sangat sulit sekali memperoleh keadilan di negeri ini, padahal hukum yang ada di Indonesia sudah di susun dengan sangat baik bila dijalankan dengan benar. Namun kenyataan yang ada sekarang adalah hukum di Indonesia pelaksanaanya belum sesuai dengan yang sebagaimana mestinya. Ada 2 (dua) faktor utama mengapa hukum di Indonesia belum bisa berjalan dengan baik. Pertama, para aparat hukum yang ada belum optimal menjalankan perannya sebagai penegak hukum, terlihat dari kurang diamalkannya etika profesi yang ada oleh aparat hukum tersebut.  Faktor yang kedua adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya mentaati hukum, sehingga hukum bisa sesuai dengan fungsinya yaitu mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada, terlihat dari banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat mulai dari hal yang kecil.

Rabu, 07 Desember 2016

MASYARAKAT SOSIAL



Kebutuhan setiap masyarakat itu berbeda-beda, masyarakat merupakan makhluk sosial yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Meskipun berbeda, sumber kebutuhan pokok makhluk sosial itu dapat dikelompokkan menjadi kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Tidak dipungkiri di dalam masyarakat terdapat aksi tolong menolong, kerja bakti, bermusyawarah dan masih banyak lagi. Di lingkungan masyarakat baik di kota maupun di desa cenderung berbeda dalam gaya hidupnya. Di kota memang daerah metropolitan yang banyak polusi, bising dan lain sebagainya, akan tetapi masyarakat yang hidup di kota cenderung tenang, dan lebih individu. Dengan kata lain, orang yang hidup di kota cenderung cuek dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, bahkan berbicara ataupun ngobrol dengan tetangga itu hanya seperlunya saja, di luar itu mereka tetap fokus terhadap pekerjaannya. Sementara masyarakat yang hidup di desa yang suasananya sunyi serta udara yang segar, memiliki kebersamaan masyarakatnya lebih kental daripada masyarakat yang berada di kota. Rata-rata lingkungan desa masyarakatnya ramah-ramah-ramah serta saling peduli terhadap satu sama lain, dengan kata lain bahwa rasa peduli terhadap satu sama lain itu dijunjung tinggu.

Menurut Emile Durkheim, setiap masyarakat selalu sama mempunyai perasaan. Hukum adalah solidaritas manusia yang disetiap ada aturan selalu terdapat solidaritas yang terkandung. Solidaritas merupakan kepedulian yang didorong oleh perasaan. Terdapat bentuk solidaritas yabg berbeda, solidaritas terbagi menjadi dua, solidaritas paguyuban dan solidaritas patembayan. Masyarakat yang hidup di pedesaan merupakan masyarakat paguyuban, sementara masyarakat yang hidup di kota itu merupakan masyarakat patembayan. Dengan jelas, masyarakat di desa termasuk kelompok paguyuban karena masyarakat tersebut memiliki hubungan antara satu sama lain yang dekat serta latar belakangnya sama (homogen). Kelompok paguyuban ini termasuk represif yaitu memiliki perasaan yang jika salah satu dari warganya disakiti atau melakukan tindakan melanggar hukum, secara spontan mereka juga akan merasa tersakiti dan balas dendam. Seperti halnya kasus ketua DPRD yang berselingkuh atau melakukan perbuatan yang memalukan (mesum) dengan istri sopirnya di rumah si perempuan tersebut yang kemudian masyarakat tahu dan menggerebek mereka berdua yang sedang melakukan mesum di kamar lalu kedua pelaku tersebut diarak dibawa ke kantor Wali Nagari Muaro. Para masyarakat sangatlah terusik dengan kejadian tersebut, karena sebelum kepergok ketua DPRD yang berinisial MR dengan wanita atau istri dari sopirnya MR itu yang berinisial DY memang kerap berduaan ketika suami DY sedang tidak ada dirumah kerja di luar kota. Semakin hari masyarakat semakin curiga terhadap hubungan antara MR dengan DY tersebut. Maka, pada saat MR berjalab ke arah rumahnya DY, masyarakat membuntutinya dan alhasil ternyata mereka berdua bebuat asusila yang membuat masyarakat menjadi semakin marah atas tindakan wakil rakyat tersebut yang tidak senonoh. Dan melakukannya di daerah atau lingkuo desa tersebut. Sungguh memalukan. Dan ketika itulah masyarakat hampir menghakimi para pelaku asusila tersebut dan membawanya ke kantor desa untuk dikenakan sanksi menurut adat sekitarnya. Hukuman adat yang terjerat bagi mereka bedua setelah persidangan adat dilakukan di kantor desa dengan tokoh-tokoh masyarakat yang berperan di sana adalah dengan membayar 100 sak semen serta keluar dari lingkup desa setempat, serta MR pun diberhentikan darI DPRD. Sesuai dengan aturan desa adat di sekitarnya dan aturan hukum lainnya yang dapat menegakkan hukum secara tegas dan tepat. Penegakan hukum tersebut menjadikan hukum berlaku bagi masyarakat. Dengan berpesan serta para aparat penegak hukum adat dapat memperlancar penegakan hukum diterapkan. Di sini, aparat penegak hukum tidaklah seperti polisi, advokat, jaksa dan lain sebagainya, akan tetapi aparat penegak hukum di sini adalah orang-orang yang mengerti tentang aturan hukum adat sekitar yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada masyarakat lainnya seperti ketua desa (lurah) dan pengurus desa lainnya. Supaya penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar, memerlukan fasilitas hukum yang di sini ruang persidangan merupakan fasilitas penegakan hukum yaitu di kantor Wali Nagari Mauro.

Kasus seperti ini yang membuat sorotan masyarakat setempat dan memuncaknya emosi para masyarakat terhadap kasus itu merupakan contoh sikap represif masyarakat paguyuban. Yang langsung bertindak tegas dengan sendirinya dengan adanya masalah yang mengganggu ketentraman desa. Mereka yang merasa marah, geram terhadap perilaku warganya sendiri yang tidak senonoh. Solidaritas paguyuban terlihat sangat nampak terhadap masyarakat desa akan kepeduliannya mereka terhadap masalah yang menganggu atau bahkan mencemarkan nama baik desa dan membuat malu warga setempat. Masyarakat paguyuban memiliki tindakan yang sangat antusias terhadap segala macam masalah yang terjadi di sekitar atau di lingkungan pedesaannya. Dan terkadang masyarakat desa itu masih menerapkan hukum adat yang masih berpedoman terhadap makhlus halus, kepercayaan terhadap kekuatan roh halus. Dan cara menegakan hukumnya melalui roh hakus tersebut tanpa adanya aturan yang tertulis yang berpatok pada undang-undang, seperti inilah dinamakan masyarakat desa primitif. Masih percaya dan berpedoman terhadap kekuatan ghaib. Biasanya, dengan berkembangnya zaman dan dengan meningkatnya kehidupan perekonomian, pengetahuan masyarakat yang sangat pesat ini, penduduk desa yang masih termasuk penduduk primitif, tetap berpegang teguh dengan kepercayaan akan kekuatan ghaib ini meskipun berkembangnya zaman, hal ini menjadikan golongan mereka terpinggirkan dan menjadi kaum minoritas. Masyarakat desa yang memiliki solidaritas paguyuban, sebagian kecil atau masih ada golongan-golongan primitif.

Menurut max weber, masyarakat primitif itu memiliki tingkat rasionalis paling rendah dan akalnya tidak digunakan semaksimal mungkin dan hanya percaya dengan kekuatan roh hakus saja, masyarakat ini berbeda dengan masyarakat modern yang mengikuti zaman yang berpedoman dengan peraturan hukum yang dibuat secara modern oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Kebanyakan warga desa terpencil yang terpinggirkan itu masih menggunakan aturan yang berasal dari makhluk halus serta kepercayaan tersebut tidak bisa diganggu gugat. Dan membuat mereka menjadi kelompok termaginalkan oleh kelompok modern saat ini.

Berbeda dengan kelompok patembayan yang lebih mandiri, hubungan antara satu dengan yang lain tidak intensif serta prestitutif yaitu pemulihan keadaan sebagaimana semula. Seperti contohnya ketika terdapat kasus perampokan di rumah tetangga, mereka tidak menggerebek perampok tersebut dan menghakiminya sendiri, cukup dengan menelfon polisi supaya kasus tersebut dapat diurus oleh polisi. Dengan kata lain, masyarakat atau kelompok patembayan tidak mau repot dengan keadaan di sekitarnya dan tidak memperpanjang keadaan yang rumit yang kemudian mengembalikan suasana seperti semula setelah terdapat masalah di sekitarnya.

Berbicara masalah kaum termaginalkan, masyarakat yang hidup di kota yang memiliki solidaritas patembayan mayoritas ekonominya lebih tinggi daripada masyarakat yang hidup di desa yang memiliki solidaritas paguyuban. Dan itu menjadikan masyarakat desa termaginalkan oleh masyarakat kota. Di sini dapat dilihat dari teori karl mark yang membedakan antara kaum miskin dengan kaum kaya. Kaum borjuis merupakan kaum kaya yang memiliki uang, modal, indurtri, membeli manusia dan membayar buruh atau pekerja. Dan kaum proletar merupakan kaum yang tidak memiliki uang, bekerja di industi (sebagai buruh) dan hanya mengandalkan tenaganya.

Orang miskin atau kaum proletar ini sering dipandang sebelah mata oleh kaum borjuis. Karena kaum borjuis memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada kaum proletar, maka kaum borjuis mendapatkan banyak hak-haknya dan itu dapat menindas kaum proletar yang memiliki sedikit kekuasaan. Masalah seperti inI menjadikan banyak kasus hukum atau aturan yang bertujuan untuk melenggakan kekuasaan kaum borjuis saja, seperti pemerintah yang memikiki kekuasaab lebih besar daripada rakyatnya dan bermain dengan pemilik uang yang melahirkan hukun yang menindas kaum ploretar yang menjadikan aturan, keputusan yang menguntungkan kaum pemilik uang (borjuis).




https://m.detik.com/news/berita/d-3349865/begini-suasana-sidang-adat-ketua-dprd-sijunjung-yang-mesum-bareng-istri-sopir
http://riaupos.co/134336-berita-memalukan-ketua-dprd-sijunjung-dihukum-adat-karena-mesum.html#.WEibQ-kxXqA

KELOMPOK MARGINAL


Di Indonesia terdapat banyak masyarakat sosial yang berbeda-beda, dalam arti berbeda sifat, sikap, bentuk atau fisik dan masih banyak lagi. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadi penghalang bagi masyarakat untuk bersosialisasi sesuai keinginannya dengan baik dan tetap berpegang teguh dengan aturan-aturan yang berlaku. Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Biasanya di dalam lingkup sosial terkecil yaitu keluarga itu terdiri dari suami, istri dan anak dan suamilah yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena ia merupakan kepala keluarga kemudian istri harus menuruti sang suaminya. Suami adalah sumber nafkah untuk keluarga karena suami yang berrugas untuk bekerja untuk mencari nafkah kekuarganya, dan istri hanya bekerja di dalam rumah saja mengerjakan pekerjaan rumah tanggah seperti mencuci, memasak, mengurus anak dan lain sebagainya. Menurut saya, peristiwa seperti itu di dalam lingkup keluarga kenapa perempuan atau istri menjadi tingkatan nomer dua sesudah suami? Padahal pekerjaan istri yang dilakukannya lebih banyak daripada suami. Ini merupakan posisi yang tidak adil. Dan kita lihat pada peluang kerja di kota-kota, mayoritas peluang kerja banyak dipeluangkan untuk laki-laki saja, padahal mayoritas perempuan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi, mengapa peluang berkarir wanita lebih susah atau lebih sempit daripada laki-laki? Hal ini menyatakan bahwa perempuan termaginalkan. Terdapat ketidakadilan dan tersisihkan bagi para kaum perempuan dan lebih menjunjung tinggi pada kaum laki-laki daripada kaum perempuan. Mengapa demikian?

Padahal di negara kita, negara Indonesia memiliki asas yang menganggap semua orang sama, semua orang dianggap sama oleh hukum atau aturan baik laki-laki ataupun perempuan. Namun, dengan lebih banyaknya kuasa para kaum laki-laki dibandingkan dengan kaum perempuan ini disalahgunakan oleh publik yang bisa disebut dengan biasgender. yaitu keliru dalam menilai atau menyamaratakan yang seolah-olah sama rata akan tetapi nyatanya tidak disamaratakan. Menganggap semua orang itu disamaratakan sama yang padahal tidak. Kesempatan seperti inilah dapat melenggakan kekuasaan kaum laki-laki karena laki-laki memiliki peluang luas dibanding perempuan. Ini merupakan memarginalkan seorang perempuan dan ini sudah sangat maraknya perempuan termajinalkan.

Bukan hanya perempuan saja yang termaginalkan, akan tetapi masih banyak lagi kaum-kaum yang termaginalkan seperti orang yang cacat, orang miskin, kaum minoritas dan masih banyak lagi.
Orang yang menyandang kecacatan atau biasa disebut dengan disable itu merupakan kaum yang termaginalkan. Mereka dipandang sebelah mata dengan orang-orang yang lebih sempurna daripadanya. Sebenarnya, kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT semata, kita sebagai ciptaanNYA harus mensyukuri apapun yang telah diberikanNYA kepada kita. Dan setiap manusia itu diciptakan berbeda-beda yang mana pasti ada Kekurangngan dan kelebihan. Kaum disable atau penyandang cacat memang memiliki kekurangan yaitu hilangnya fungsi salah satu organ mereka yang menjadikan sedikit berbeda dengan orang lain. Akan tetapi, kemampuan mereka lebih tinggi atau semangat mereka lebih tinggi daripada orang lain yang memiliki fisik yang lengkap. Dan kurangnya kedasaran masyarakat terhadap kaum penyandang cacat atau disable menjadikan kaum ini termaginalkan yang merasa tersisihkan dari masyarakat lainnya. Lebih jelasnya lagi kaum disable tersebut memang kaum termaginalkan dengan menyendirikan Sekikah Luar Biasa (SLB) yang khusus sekikah untuk kaum disable. Ini jelas-jelas meminggirkan kaum disable yang efeknya mereka tidak dapat bersosialisasi dengan bebas dengan msyarakat yang berbeda dengannya yang memiliki fisik yang lebih baik dibandingkannya, seperti ini menjadikan penghalang kaum disable untuk berkembang, berkontribusi dengan masyarakat lainnya.

Ekonomi itu tidak selalu lancar di dalam kehidupan, sama halnya pada masyarakat yang memiliki tingkatan yaitu masyarakat kalangan atas dan masyarakat kalangan bawah. Di sini, yang menjadi kaum termaginalkan yaitu masyarakat kalangan bawah atau bisa diaebut dengan orang miskin. Orang miskin menjadi salah satu kaum marginal, kenapa demikian?

Dengan ekonomi yang berkecukupan bahwa kekurangan, masyarakat miskin ini serinh terpinggirkan oleh masyarakat kaya. Orang kaya kedudukannya lebih tinggi dan lebih berkuasa dibandingkan dengan orang miskin. Yang sebelumnya setiap orang memiliki hak, haknya menjadi berkurang karena berbeda derajat antara orang kaya yang lebih berkuasa dengan orang miskin yang tidak dapat berkuasa. Dan ini bisa menjalar kepada anak-anak yang memiliki katar belakang keluarga tidak mampu, tidak dapat melanjutkan sekolah dikarenakan biayanya tidak ada. Akan tetapi pada saat sekarang terdapat beasiswa bagi orang tidak mampu atau bantuan biaya sekolah bagi yang kurang mampu, agar anak-anak yang memiliki wajib sekolah 9thn dapat bersekolah layaknya anak-anak lainnya yang mampu. Namun demikian, di lingkup sekolah anak-anak yang tidak mampu itu termaginalkan atau tersisihkan oleh anak-anak sekolah lainnya yang lebih mampu darinya. Hal yang seperti ini membuat perasaan yang pesimis yang dimiliki oleh anak-anak yang kurang mampu tersebut karena merasa tersisihkan atau terpinggirkan oleh teman-temannya lainnya.

Negara kita memiliki berbagai macam agama dan mayoritas beragama Islam, agama Islam memiliki berbagai macam aliran yaitu aliran terbesar Nahdlatul ulama dan Muhammadiyah. Adapun aliran Ahmadiyah, aliran ini merupakan kaum minoritas karena aliran ini dinyatakan aliran yang sesat dan harus dibubarkan. Kaum minoritas adalah kelompok yang populasinya lebih rendah dibandingkan dengan mayoritasnyanya yang biasa disebut dengan kelompok marginal atau terpinggirkan. Kaum minoritas ini memiliki kelompok yang sedikit yang temaginalkan oleh lingkungan sekitarnya. Seperti halnya pada kaum waria, yang memiliki jiwa yang ganda (jiwa laki-laki dan jiwa perempuan) dan akhirnya menjadi waria (bencong). Tanpa kita sadari, kaum ini memiliki kebimbangan perasaan yang berkelamin laki-laki tapi berjiwa perempuan tanpa ada rencana atau keinginan yang dibuat buat oleh mereka, kemudian dipandang sebelah mata dan termaginalkan atau terminoritaskan oleh masyarakat lainnya yang berada di sekitarnya.

Pemerintah seharusnya bertindak secara teliti mengenai kaum-kaum atau kelompok marginal tersebut. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap kelompok marginal yang menyebabkan kelompok-kelompok tersebut akan semakin sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Menunggu kebijakan pemerintah untuk dapat membimbing, mengawasi, melindungi kaum-kaum marginal tersebut supaya hak-hak mereka dapat terpenuhi secara baik dan tidak menjadi kaum marginal lagi yang bisa berbaur dengan masyarakat lainnya.

Minggu, 20 November 2016

KEPATUHAN HUKUM TERHADAP HUKUM





Kali ini saya akan membuat artikel mengenai kepatuhan hukum. Indonesia adalah Negara hukum, jadi otomatis semua kehidupan masyarakat Indonesia diatur oleh hukum. Seperti halnya di kampus IAIN Tulungagung, aturan untuk memakai baju yang sopan saat kuliah. Termasuk mahasiswi yang wajib mengenakan kerudung dan berpakaian tertutup. Terkadang, setiap dosen memiliki aturan tersendiri untuk dapat mengikuti kelasnya. Saya dari semester satu sampai semester tiga ada berbagai macam peraturan yang berbeda-beda setiap dosen. Ada yang boleh memakai celana untuk cewek saat perkuliahan dimulai, ada juga yang tidak memperbolehkan memakai celana dan harus memakai rok. Masalah tepat waktu tidaknya masuk perkuliahan setiap dosen juga berbeda, ada yang memberi toleransi telat maksimal 10-15 menit, ada juga yang tidak memberikan toleransi waktu yaitu harus tepat waktu. Peraturan-peraturan tersebut harus dilakukan, jika tidak  maka akan mendapat sanksi yang sudah disepakati sebelumnya. Kejadian seperti itu bagi mahasiswa termasuk saya merupakan kepatuhan hukum yang dikarenakan takut kena sanksi. Secara otomatis mematuhi aturan tersebut karena takut terkena sanksi. Pada saat saya di pondok, ada peraturan pondok yang tidak memperbolehkan keluar tanpa izin alias kabur dalam segi apapun dan dalam alasan atau keperluan apapun, kalau tidak boleh keluar tanpa izin ya harus dipatuhi. Kalaupun keluar dengan izin, itu pun ada batas waktu untuk keluar, itu yang membuat saya malas untuk izin kepada kamtib (keamanan ketertiban) di pondok kalau mau keluar.
Dan tahap-tahap jika mau keluar pondok contohnya keluar pergi ke pasar, jalan-jalan, asa urusan di luar pondok dan lain sebagainya, sebelumnya kita harus memiliki buku izin pondok yang pada saat itu bukunya berwarna merah muda, kita minta izin kepada bu nyai yang jika dibolehkan untuk keluar oleh bu nyai tersebut maka buku izin yang berwarna merah muda tersebut ada mendapat stempet atau tanda tangan bu nyai sebagai bukti perizinan tersebut. Lalu, kita pergi ke kamtib (keamanan ketertiban) untuk menunjukan buku izi berwarna merah muda tersebut dan menunjukan tanda tangan persetujuan bu nyai. Kemudian, kamtib memberikan stempel pondok pertanda bahwa boleh keluar podok dengan batas waktu tertentu, biasanya kalau saya keluar itu diberikan waktu dua jam saja. Sebelum diberi izin keluar pondok, oleh kamtib masih ditanya-tanya mau pergi kemana, urusan apa, mau ngapain, beli apa, dan masih banyak lagi. Jujur saja, saya pernah keluar tanpa izin di pondok, karena menurut saya kalau izin keluar pondok sebelumnya harus izin sana sini yang menurut saya itu sangat ribet. Saat itu saya diajak temen saya yang rumahnya sekitar pondok, sekolah di pondok tapi tidak mondok untuk mengembalikan songket yang habis dipakai untuk acara pentas seni tari di sekolahan. Tanpa izin sana sini yang ribet sekali, saya langsung berangkat sama teman saya yang tempatnya berada di luar pondok. Saya melalui jalan tikus yang tidak ada kamtib yang menjaganya. Namun, pada saat pulang mengembalikan songket tersebut, ada salah satu kamtib melewati jalan yang sama dengan kita lewati dan berpapasan dengan kamtib tersebut. Kita dihadang sama kamtib dan kamtib mengetahui bahwa saya merupakan salah satu santri di pondok tersebut, lalu saya dan teman saya dibawa ke kantor kamtib dan di introgasi oleh kepala kamtib kemudian di masukan ke data data bahwa saya melanggar peraturan pondok yang kemudian dikenakan sanksi serta teman saya hanya mendapat teguran saja karena dia bukan santri yang mondok di sana. Saya mendapat sanksi yaitu denda semen lalu di asrama dimarahin oleh pengurus pondok termasuk bu nyai serta di hukum menulis surat-surat Al-Qur’an dan disuruh mengaji di depan bu nyai sampai selesai dari juz 1-30 sehari. Setelah itu, saya tidak mengulangi keluar pondok tanpa izin lagi karena saya merasa kapok akan sanksi sanksi yang telah saya alami pada saat itu. Untuk menghindari sanksi pondok, jika mau keluar saya izin kepada pengurus pondok. Seperti itulah sekilas pengalaman saya mengenai kepatuhan hukum karena takut sanksi.
            Kepatuhan hukum terhadap hukum yang salah satunya adalah orang yang mematuhi hukum dengan keyakinan (berdasarkan keyakinannya), biasanya kepatuhan ini berkaitan antara agama dengan hukum yang berdasarkan keyakinan masing-masing. Di pondok dulu juga banyak perbedaan pendapat atau keyakinan termasuk antara saya dengan teman saya. Teman saya rumahnya tegal, sekamar dengan saya. Dia seorang yang sangat religious, rajin beribadah, tirakat dan hobinya bersholawatan. Selama saya sekolah bareng sama dia sampai sekarang dia kuliah di purwokerto, dia tidak berpacaran. Dia menganggap bahwa pacaran itu diharamkan oleh agama Islam, memang benar sih. Di dalam agama Islam berpengangan lawan jenis saja tidak boleh, bersentuhan walaupun tidak sengaja bagi orang yang mempunyai wudlu saja wudlunya batal dan harus berwudlu lagi, berjabatan tangan dengan lawan jenis itu juga membatalkan wudlu, apalagi melakukan perbuatan pacaran dengan lawan jenis. Jelas itu tidak diperbolehkan oleh agama Islam, karena itu termasuk maksiat. Yang diperbolehkan oleh agama Islam adalah ta’aruf, bukan pacaran. Mungkin pacaran banyak segir negatifnya makanya tidak diperbolehkan oleh agama Islam. Meskipun begitu, banyak orang yang beragama Islam tetap saja berpacaran dengan lawan jenis termasuk saya. Memang tidak dipungkiri, seorang yang sudah beranjak dewasa memiliki perasaan senang terhadap lawan jenis itu wajar apalagi menjalin hubungan berpacaran dengan lawan jenis. Termasuk saya, saya juga berpacaran dengan lawan jenis. Beda dengan teman saya yang dari tegal itu tidak mau berpacaran. Itu sekilas kepatuhan hukum terhadap hukum yaitu orang yang mematuhi hukum sesuai dengan keyakinannya.
            Pernah pada saat saya pergi ke kota, terdapat di pinggir-pinggir jalan rambu-rambu lalu lintas seperti sebuah tulisan atau gambar yang diartikan tidak boleh parker di tempat tersebut, tidak boleh berhenti di tempat tersebut. Dan ada juga peringatan untuk berjalan kurang dari 40km, seperti itu otomatis saya langsung mematuhinya untuk tidak parker di tempat yang ada rambu-rambunya, untuk tidak berhenti di tempat yang rambu-rambunya seperti itu karena hukum sudah berlaku dan hukumnya memang seperti itu. Adapun pengalaman yang sehari-hari saya alami yaitu menyebrang di depan kampus IAIN Tulungagung, di jalan depan kampus selalu ada para satpam yang tugasnya untuk membantu para mahasiswa untuk lebih mudah menyebrangi jalan dengan selamat. Untuk mengatur keramaian jalan, para petugas satpam membawa alat yang di situ ada tulisan “stop”. Di saat tanda itu di hadapkan oleh para pengemudi di jalan tersebut tanpa petugas satpam berkata, secara otomatis para pengemudi berhenti serentak. Kemudian kita para mahasiswa bisa menyrabang jalan dengan selamat. Lalu, ketika tanda itu di angkat, para pengemudi jalan tersebut secara otomatis berjalan melanjutkan perjalanannya lagi. Seperti itulah kepatuhan hukum secara otomatis dipatuhi karena sudah jelas, itu merupakan orang yang patuh dengan hukum dan mematuhinya yaitu rambu-rambu lalu lintas yang sudah ada dan tersedia di setiap jalan. Dan peraturan tersebut atau hukum tersebut sudah berlaku.