DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN
NEPOTISME (KKN) BAGI MASYARAKAT DI INDONESIA
A. Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan perilaku
pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi bisa disebut dengan perbuatan menyelewengkan/ menyalahgunakan/ menggelapkan
uang negara atau uang yang bukan haknya hanya untuk kepentingan pribadi maupun
orang lain. Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan lain sebagainya untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan pada negara.
Korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji yang dapat merugikan
suatu bangsa dan negara.
Pada umumnya, korupsi adalah benalu
sosial yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama
terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain itu, korupsi
merupakan bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi
menyimpang, karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang
merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan bersama
yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter terhadap individu itu
sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak memihak
kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika, melanggar aturan hukum, dan
terlebih melanggar aturan agama.
Korupsi di Indonesia bukanlah
hal yang baru, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus yang
terbilang cukup banyak. Akan tetapi, banyak juga kasus korupsi yang dilakukan
oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan yang telah dibungkar oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa unsur-unsur tindak pidana korupsi antara
lain:
1. Perbuatan melawan hukum;
2. Penyalahgunaan kewenangan;
3. Kesempatan atau sarana memperkaya diri sendiri, orang lain
atau korporasi;
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
2. Penggelapan dalam jabatan;
3. Pemerasan dalam jabatan, dalam pengadaan (bagi pegawai
negeri/ penyelenggara negara);
4. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/ penyelenggara
negara).
B. Kolusi
Kolusi adalah tindakan
persekongkolan, persekutuan atau permufakatan untuk urusan yang tidak baik.
Kolusi ini biasanya diwarnai dengan korupsi yaitu penyalahgunaan wewenang yang
dimiliki oleh salah satu pihak atau pejabat negara. Kolusi adalah suatu kerja sama melawan hukum antar
penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara, kerja sama secara rahasia,
ilegal, dan melanggar hukum hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi para pelakunya.
Kartel adalah kasus khusus dari kolusi
berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. Kolusi merupakan
sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi
dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau
fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
C. Nepotisme
Nepotisme adalah tindakan atau
perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. perbuatan mengutamakan kerabat atau
keluarga sendiri didasari rasa kesukaan dan kecenderungan bukan karena
kemampuan, untuk memegang suatu jabatan. Nepotisme
berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
D.
Undang-Undang
tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia
Peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi,
saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya UU No.
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU
No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Walaupun sudah sangat jelas ditegaskan di dalam UUD,
namun masih saja KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) banyak diperaktikkan dalam
kehidupan nyata baik itu di dunia secara umum atau di Negara Indonesia secara
khusus.
E. Dampak dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Kumpulan penyakit yang kemudian dikenal dengan
KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) ini dianggap telah menggerogoti
institusi-institusi pemerintahan dan institusi politik, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Korupsi dan kolusi, telah menjadi salah satu prioritas.
Pembentukan dan sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi
senjata ampuh guna meredam kegiatan korupsi di segala lini pemerintahan.
Hasilnya, banyaknya pejabat pusat dan daerah, maraknya anggota dewan yang
terjaring akibat kasus-kasus korupsi. Berbeda dengan kedua virus tersebut,
saudara dekat mereka, yakni nepotisme seolah-olah tidak menjadi perhatian
serius oleh sebagian pihak. Mungkin nepotisme tidak terlalu mencolok dan
menimbulkan kerugian yang terlampau besar. Melalui nepotisme, terjalin
jejaring, terutama keluarga yang erat sehingga tidak ada fungsi saling
mengontrol yang ketat, dan tentu saja berpotensi untuk saling “memaafkan” jika
terdapat sebuah kesalahan (eror) yang memiliki implikasi-implikasi tertentu.
Dalam prakteknya Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat
diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang
otentik. Di samping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum
yang pasti. Namun akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini
merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat itu sendiri. Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini
merupakan produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang
sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai
akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang
berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat
dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi di mata
masyarakat.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
juga menjadi penyebab rendahnya daya saing suatu daerah, terhambatnya proses
pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/daerah maupun semakin jeleknya
kualitas dan kuantitas layanan publik. Dampaknya paling dirasakan oleh
kelompok sosial masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu
tumbuh kembangnya budaya dan relasi informal dalam pelayanan publik serta
distrust terhadap pemerintahnya.
Perkara Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif,
yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai
kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri,
mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain
sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi
tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata
justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana
korupsi.
1. Bahaya Laten Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Bahaya laten adalah sebuah
kondisi keadaan yang menjadi sangat berbahaya jika hal tersebut benar-benar
terjadi karena dapat merusak konsep dan keseluruhan nilai yang ada. Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) dapat menjatuhkan sebuah rezim dan bahkan
menyengsarakan suatu bangsa sebab korupsi merupakan suatu penyelewengan untuk
kepentingan pribadi, sedangkan kolusi merupakan suatu persekongkolan rahasia
untuk maksud dan tujuan yang tidak terpuji dan npotisme merupakan suatu
kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara sendiri dalam suatu jabatan
dilingkungan pemerintahan.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan
kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran
dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan
(fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar). Menurunnya tingkat
kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam,
mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal,
rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa
pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN.
2. Akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Akibat korupsi adalah
ketidak-efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah,
memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha,
terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam
kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Secara
umum akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan
merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional
seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Akibat-akibat
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini adalah sebagai berikut:
a.
Pemborosan
sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya
keahlian, bantuan yang lenyap;
b.
Ketidakstabilan,
revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan
ketimpangan sosial budaya;
c.
Pengurangan kemampuan
aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan
administrasi.
F.
Pemberantasan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN)
Semangat dan upaya
pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai
produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap
produk-produk hukum di atas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa ke meja
hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi
dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi di lapangan
tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus di masa orde baru ada yang
sampai ke meja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih
banyak yang diputuskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita Acara
Perkara-nya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi
pengadilan.
Korupsi ternyata bukan hanya
masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama.
Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi
bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan
kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan semakin meningkat. Indonesia
merupakan negara yang berprestasi dalam hal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang lebih
menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa
Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu
yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi,
dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan
tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini
adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum
seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum
merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan
dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya
mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya
menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial
memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya
akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata rantainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar