Senin, 01 April 2019

BAHAYA LATEN KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME



DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME (KKN) BAGI MASYARAKAT DI INDONESIA


A.    Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi bisa disebut dengan perbuatan menyelewengkan/ menyalahgunakan/ menggelapkan uang negara atau uang yang bukan haknya hanya untuk kepentingan pribadi maupun orang lain. Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain sebagainya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan pada negara. Korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji yang dapat merugikan suatu bangsa dan negara.
Pada umumnya, korupsi adalah benalu sosial yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain itu, korupsi merupakan  bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi menyimpang, karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika, melanggar aturan hukum, dan terlebih melanggar aturan agama.
Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus yang terbilang cukup banyak. Akan tetapi, banyak juga kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan yang telah dibungkar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa unsur-unsur tindak pidana korupsi antara lain:
1.      Perbuatan melawan hukum;
2.      Penyalahgunaan kewenangan;
3.      Kesempatan atau sarana memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi;
4.      Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
2.      Penggelapan dalam jabatan;
3.      Pemerasan dalam jabatan, dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/ penyelenggara negara);
4.      Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/ penyelenggara negara).

B.     Kolusi
Kolusi adalah tindakan persekongkolan, persekutuan atau permufakatan untuk urusan yang tidak baik. Kolusi ini biasanya diwarnai dengan korupsi yaitu penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh salah satu pihak atau pejabat negara. Kolusi adalah suatu kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara, kerja sama secara rahasia, ilegal, dan melanggar hukum hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi para pelakunya.
Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.

C.    Nepotisme
Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. perbuatan mengutamakan kerabat atau keluarga sendiri didasari rasa kesukaan dan kecenderungan bukan karena kemampuan, untuk memegang suatu jabatan. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.

D.    Undang-Undang tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Walaupun sudah sangat jelas ditegaskan di dalam UUD, namun masih saja KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) banyak diperaktikkan dalam kehidupan nyata baik itu di dunia secara umum atau di Negara Indonesia secara khusus.

E.     Dampak dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Kumpulan penyakit yang kemudian dikenal dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) ini dianggap telah menggerogoti institusi-institusi pemerintahan dan institusi politik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Korupsi dan kolusi, telah menjadi salah satu prioritas. Pembentukan dan sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi senjata ampuh guna meredam kegiatan korupsi di segala lini pemerintahan. Hasilnya, banyaknya pejabat pusat dan daerah, maraknya anggota dewan yang terjaring akibat kasus-kasus korupsi. Berbeda dengan kedua virus tersebut, saudara dekat mereka, yakni nepotisme seolah-olah tidak menjadi perhatian serius oleh sebagian pihak. Mungkin nepotisme tidak terlalu mencolok dan menimbulkan kerugian yang terlampau besar. Melalui nepotisme, terjalin jejaring, terutama keluarga yang erat sehingga tidak ada fungsi saling mengontrol yang ketat, dan tentu saja berpotensi untuk saling “memaafkan” jika terdapat sebuah kesalahan (eror) yang memiliki implikasi-implikasi tertentu.
Dalam prakteknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang otentik. Di samping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi di mata masyarakat.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) juga menjadi penyebab rendahnya daya saing suatu daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/daerah maupun semakin jeleknya kualitas dan kuantitas layanan publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuh kembangnya budaya dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust terhadap pemerintahnya. 
Perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. 
1.      Bahaya Laten Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Bahaya laten adalah sebuah kondisi keadaan yang menjadi sangat berbahaya jika hal tersebut benar-benar terjadi karena dapat merusak konsep dan keseluruhan nilai yang ada. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dapat menjatuhkan sebuah rezim dan bahkan menyengsarakan suatu bangsa sebab korupsi merupakan suatu penyelewengan untuk kepentingan pribadi, sedangkan kolusi merupakan suatu persekongkolan rahasia untuk maksud dan tujuan yang tidak terpuji dan npotisme merupakan suatu kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara sendiri dalam suatu jabatan dilingkungan pemerintahan.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar). Menurunnya tingkat kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN.
2.      Akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Akibat korupsi adalah ketidak-efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha, terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Akibat-akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini adalah sebagai berikut:
a.       Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap;
b.      Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya;
c.       Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

F.     Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap produk-produk hukum di atas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa ke meja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi di lapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus di masa orde baru ada yang sampai ke meja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang diputuskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita Acara Perkara-nya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. 
Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan  semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata rantainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar