Minggu, 20 November 2016

KEPATUHAN HUKUM TERHADAP HUKUM





Kali ini saya akan membuat artikel mengenai kepatuhan hukum. Indonesia adalah Negara hukum, jadi otomatis semua kehidupan masyarakat Indonesia diatur oleh hukum. Seperti halnya di kampus IAIN Tulungagung, aturan untuk memakai baju yang sopan saat kuliah. Termasuk mahasiswi yang wajib mengenakan kerudung dan berpakaian tertutup. Terkadang, setiap dosen memiliki aturan tersendiri untuk dapat mengikuti kelasnya. Saya dari semester satu sampai semester tiga ada berbagai macam peraturan yang berbeda-beda setiap dosen. Ada yang boleh memakai celana untuk cewek saat perkuliahan dimulai, ada juga yang tidak memperbolehkan memakai celana dan harus memakai rok. Masalah tepat waktu tidaknya masuk perkuliahan setiap dosen juga berbeda, ada yang memberi toleransi telat maksimal 10-15 menit, ada juga yang tidak memberikan toleransi waktu yaitu harus tepat waktu. Peraturan-peraturan tersebut harus dilakukan, jika tidak  maka akan mendapat sanksi yang sudah disepakati sebelumnya. Kejadian seperti itu bagi mahasiswa termasuk saya merupakan kepatuhan hukum yang dikarenakan takut kena sanksi. Secara otomatis mematuhi aturan tersebut karena takut terkena sanksi. Pada saat saya di pondok, ada peraturan pondok yang tidak memperbolehkan keluar tanpa izin alias kabur dalam segi apapun dan dalam alasan atau keperluan apapun, kalau tidak boleh keluar tanpa izin ya harus dipatuhi. Kalaupun keluar dengan izin, itu pun ada batas waktu untuk keluar, itu yang membuat saya malas untuk izin kepada kamtib (keamanan ketertiban) di pondok kalau mau keluar.
Dan tahap-tahap jika mau keluar pondok contohnya keluar pergi ke pasar, jalan-jalan, asa urusan di luar pondok dan lain sebagainya, sebelumnya kita harus memiliki buku izin pondok yang pada saat itu bukunya berwarna merah muda, kita minta izin kepada bu nyai yang jika dibolehkan untuk keluar oleh bu nyai tersebut maka buku izin yang berwarna merah muda tersebut ada mendapat stempet atau tanda tangan bu nyai sebagai bukti perizinan tersebut. Lalu, kita pergi ke kamtib (keamanan ketertiban) untuk menunjukan buku izi berwarna merah muda tersebut dan menunjukan tanda tangan persetujuan bu nyai. Kemudian, kamtib memberikan stempel pondok pertanda bahwa boleh keluar podok dengan batas waktu tertentu, biasanya kalau saya keluar itu diberikan waktu dua jam saja. Sebelum diberi izin keluar pondok, oleh kamtib masih ditanya-tanya mau pergi kemana, urusan apa, mau ngapain, beli apa, dan masih banyak lagi. Jujur saja, saya pernah keluar tanpa izin di pondok, karena menurut saya kalau izin keluar pondok sebelumnya harus izin sana sini yang menurut saya itu sangat ribet. Saat itu saya diajak temen saya yang rumahnya sekitar pondok, sekolah di pondok tapi tidak mondok untuk mengembalikan songket yang habis dipakai untuk acara pentas seni tari di sekolahan. Tanpa izin sana sini yang ribet sekali, saya langsung berangkat sama teman saya yang tempatnya berada di luar pondok. Saya melalui jalan tikus yang tidak ada kamtib yang menjaganya. Namun, pada saat pulang mengembalikan songket tersebut, ada salah satu kamtib melewati jalan yang sama dengan kita lewati dan berpapasan dengan kamtib tersebut. Kita dihadang sama kamtib dan kamtib mengetahui bahwa saya merupakan salah satu santri di pondok tersebut, lalu saya dan teman saya dibawa ke kantor kamtib dan di introgasi oleh kepala kamtib kemudian di masukan ke data data bahwa saya melanggar peraturan pondok yang kemudian dikenakan sanksi serta teman saya hanya mendapat teguran saja karena dia bukan santri yang mondok di sana. Saya mendapat sanksi yaitu denda semen lalu di asrama dimarahin oleh pengurus pondok termasuk bu nyai serta di hukum menulis surat-surat Al-Qur’an dan disuruh mengaji di depan bu nyai sampai selesai dari juz 1-30 sehari. Setelah itu, saya tidak mengulangi keluar pondok tanpa izin lagi karena saya merasa kapok akan sanksi sanksi yang telah saya alami pada saat itu. Untuk menghindari sanksi pondok, jika mau keluar saya izin kepada pengurus pondok. Seperti itulah sekilas pengalaman saya mengenai kepatuhan hukum karena takut sanksi.
            Kepatuhan hukum terhadap hukum yang salah satunya adalah orang yang mematuhi hukum dengan keyakinan (berdasarkan keyakinannya), biasanya kepatuhan ini berkaitan antara agama dengan hukum yang berdasarkan keyakinan masing-masing. Di pondok dulu juga banyak perbedaan pendapat atau keyakinan termasuk antara saya dengan teman saya. Teman saya rumahnya tegal, sekamar dengan saya. Dia seorang yang sangat religious, rajin beribadah, tirakat dan hobinya bersholawatan. Selama saya sekolah bareng sama dia sampai sekarang dia kuliah di purwokerto, dia tidak berpacaran. Dia menganggap bahwa pacaran itu diharamkan oleh agama Islam, memang benar sih. Di dalam agama Islam berpengangan lawan jenis saja tidak boleh, bersentuhan walaupun tidak sengaja bagi orang yang mempunyai wudlu saja wudlunya batal dan harus berwudlu lagi, berjabatan tangan dengan lawan jenis itu juga membatalkan wudlu, apalagi melakukan perbuatan pacaran dengan lawan jenis. Jelas itu tidak diperbolehkan oleh agama Islam, karena itu termasuk maksiat. Yang diperbolehkan oleh agama Islam adalah ta’aruf, bukan pacaran. Mungkin pacaran banyak segir negatifnya makanya tidak diperbolehkan oleh agama Islam. Meskipun begitu, banyak orang yang beragama Islam tetap saja berpacaran dengan lawan jenis termasuk saya. Memang tidak dipungkiri, seorang yang sudah beranjak dewasa memiliki perasaan senang terhadap lawan jenis itu wajar apalagi menjalin hubungan berpacaran dengan lawan jenis. Termasuk saya, saya juga berpacaran dengan lawan jenis. Beda dengan teman saya yang dari tegal itu tidak mau berpacaran. Itu sekilas kepatuhan hukum terhadap hukum yaitu orang yang mematuhi hukum sesuai dengan keyakinannya.
            Pernah pada saat saya pergi ke kota, terdapat di pinggir-pinggir jalan rambu-rambu lalu lintas seperti sebuah tulisan atau gambar yang diartikan tidak boleh parker di tempat tersebut, tidak boleh berhenti di tempat tersebut. Dan ada juga peringatan untuk berjalan kurang dari 40km, seperti itu otomatis saya langsung mematuhinya untuk tidak parker di tempat yang ada rambu-rambunya, untuk tidak berhenti di tempat yang rambu-rambunya seperti itu karena hukum sudah berlaku dan hukumnya memang seperti itu. Adapun pengalaman yang sehari-hari saya alami yaitu menyebrang di depan kampus IAIN Tulungagung, di jalan depan kampus selalu ada para satpam yang tugasnya untuk membantu para mahasiswa untuk lebih mudah menyebrangi jalan dengan selamat. Untuk mengatur keramaian jalan, para petugas satpam membawa alat yang di situ ada tulisan “stop”. Di saat tanda itu di hadapkan oleh para pengemudi di jalan tersebut tanpa petugas satpam berkata, secara otomatis para pengemudi berhenti serentak. Kemudian kita para mahasiswa bisa menyrabang jalan dengan selamat. Lalu, ketika tanda itu di angkat, para pengemudi jalan tersebut secara otomatis berjalan melanjutkan perjalanannya lagi. Seperti itulah kepatuhan hukum secara otomatis dipatuhi karena sudah jelas, itu merupakan orang yang patuh dengan hukum dan mematuhinya yaitu rambu-rambu lalu lintas yang sudah ada dan tersedia di setiap jalan. Dan peraturan tersebut atau hukum tersebut sudah berlaku.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar