Selasa, 06 September 2016

KEGADUHAN DI LINGKUP PESANTREN






Manusia mempunyai banyak macam karakter yang dimiliki. Dengan memilik berbagai macam karakter tersebut, setiap manusia pasti memiliki masa beradaptasi maupun bersosialisasi. Kata beradaptasi maupun bersosialisali tersebut tentu tidaklah asing bagi kita, di mana beraptasi adalah bagaimana kita mencocokan atau memadukan diri kita dengan lingkungan yang berada di sekitar kita pada saat itu dan bersosialisasi yang mana terjadi timbal balik antar manusia. Namun banyak orang yang tidak mengetahui atau tidak mau tahu tentang pentingnya masa seperti itu.
Manusia itu tidak bisa hidup sendiri, mereka hidup saling bergantungan, saling membutuhkan. Meskipun begitu, ada banyak orang yang tidak mau tahu tentang urusan orang lain dan hal seperti itu adalah wajar. Karena di dalam Sosiologi Hukum menurut pemikiran ilmuan Emile Durkheim (Prancis) yang membahas tentang hukum tepatnya mengamati prilaku masyarakat dari hukum tersebut. Manusia memiliki bentuk solidaritas yang berbeda-beda antara paguyuban dengan patembayan. Yang mana paguyuban merupakan solidaritas mekanis (saling membantu, rasa kepedulian dijunjung tinggi), sementara patembayan merupakan mekanisme organis (masyarakat terdiri dari orang-orang yang mandiri). Pembagian tersebut, bisa dilihat dari tempat lingkungan sekitarnya seperti halnya orang yang berdomisili di desa sebagian besar memiliki solidaritas paguyuban yang saling peduli antara satu dengan yang lain. Sedangkan orang yang berdomisili di deaerah perkotaan sebagian besar memiliki sikap solidaritas patembayan yang terdiri dari orang-orang yang mandiri.
Akan tetapi, ada juga yang berdomisili di daerah pedesaan yang ada salah satu orang mimiliki sikap solidaritas patembayan maupun sebaliknya yang berdomisili di daerah perkotaan ada sebagian kecil masyarakatnya memiliki solidaritas paguyuban. Tetapi, hal seperti itu bisa terjadi saja hanya sebagian kecil bahkan sangatlah langka tergantung asal mula lingkup yang mereka tinggali sebelumnya. Ada juga di suatu lingkup yang di dalamnya ada masyarakat memiliki solidaritas paguyuban dan ada masyarakat yang memiliki sikap patembayan. Di situlah manusia memulai bagaimana caranya untuk beradaptasi dengan baik antara masyarakat yang memiliki solidaritas paguyuban dengan masyarakat yang memiliki sikap patembayan. Dan jika mereka dapat melewati masa berapdatasi tersebut, pastinya mereka bisa bersosialisasi antara satu sama lain dengan baik dan dapat mengetahui masyarakat di lingkup tersebut berdominan memiliki sikap solidaritas paguyuban atau memiliki sikap solidaritas patembayan.
Seperti contoh, di lingkup pondok pesantren yang mana ada banyak berbagai macam manusia, berbagai macam kalangan dan berbagai macam sifat yang dimiliki oleh berbagai macam santri yang berada di dalam lingkup pondok pesantren tersebut. Dan tidak asing lagi bagi orang yang mondok (santri) yang suka mengghosop barang milik temannya. Ghosop merupakan bahasa popular yang dimiliki para santi yang artinya adalah meminjam barang apapun tanpa izin kepada sang pemiliknya akan tetapi pada akhirnya barang pinjaman tersebut akan dikembalikan kepada sang pemiliknya. Mungkin, sebagian orang banyak yang mengira bahasa mengghosop tersebut beda-beda tipis dengan mencuri. Namun, istilah mengghosop tersebut sudah menjadi kebiasaan atau adat, karakteristik atau ciri khas para santri itu sendiri.
Di salah satu pondok pesantren modern yang terkenal di Jawa Timur, memiliki kawasan pondok pesantren yang cukup luas sekali. Memiliki asrama putra dan putri yang totalnya berjumlah kurang lebih 25 asrama. Serta memiliki beberapa unit sekolah dari tingkat taman kanak-kanak sampai tingkat perkuliahan. Salah satu asrama di pondok pesantren tersebut memiliki santri tidak terlalu banyak. Salah satu santri di asrama tersebut adalah Diah (16), Diah merupakan anak dari keluarga yang cukup mampu. Asrama yang ditempati oleh Diah (16) tersebut menjadi satu dengan para mahasiswa di sana. Pada suatu kejadian, Keke (16) santri di asrama tersebut juga sering kali kehilangan salah satu peralatan mandinya yang ditaruh di depan kamarnya, dihari yang lain Keke (16)  juga kehilangan salah satu kaos kakinya yang sudah dipakai yang berada di tempat sepatunya. Ternyata bukan hanya Keke (16) saja yang mengalami kehilangan barang berkali-kali. Tika (16) juga santri di asrama tersebut kehilangan kerudung sekolahannya yang pada saat itu kerudung tersebut mau dipakainya.
Keesokan harinya, Keke (16) menemukan peralatan mandinya berada di salah satu kamar mandi asramanya yang tidak tahu siapa yang sehabis memakai tersebut tanpa izin dan ada santri lain yang mengatakan bahwa peralatan tersebut habis dipakai oleh Diah (16) tanpa tahu bahwa itu milik Keke (16). Kemudian Tika (16) memergoki diah (16) menjemur kerudung di jemuran atas yang ternyata kerudung tersebut adalah kerudung milik Tika (16). Lambat laun Keke (16) dan Tika (16) mulai kesal, tetapi mereka tetap diam dan hanya mengawasi setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh Diah (16). Ternyata bukan hanya keke (16) dan tika (16) saja yang mengalami kejadian tersebut, santri lain juga mengalami hal yang serupa dengan berbeda barang yang diambil oleh Diah (16), terutama para mahasiswi yang menjadi korban. Diah (16) dipergoki oleh para mahasiswi berkali-kali, dan pada saat ditanya Diah (16) tidak merasa mengambilnya. Padahal jelas-jelas terpampang nyata bahwa diah (16) sering mengambil barang para santri lain dan para mahasiswi yang kemudian Diah (16) memakai barang tersebut tanpa merasa bahwa ia mengambilnya tanpa izin para pemiliknya. Para mahasiswi mulai geram akan kelakuan Diah (16) tersebut. Salah satu mahasiswi yang bernama Intan (20) mulai menindak lanjuti yang diperbuat oleh Diah (16). Pada siang hari waktu isoma (istirahat, sholat, makan), Intan (20) menemui Diah (16) untuk mengintrogasinya di kamar yang di tempati oleh Diah (16).
Akan tetapi, dengan tenangnya Diah (16) tetap tidak mengakui perbuatannya tersebut yang jelas-jelas membuat resah para santri lainnya. Pada saat itu ada banyak santri yang berada di sekitarnya, tapi mereka tidak menghiraukan akan adanya perdebatan tersebut. Bahkan ada kamar sebelah yang langsung menutup pintu kamarnya ketika Intan (20) dan Diah (16) bertengkar hebat. Pertengkaran tersebut berlanjut cukup lama, dimulai dari saling mengolok-olok satu sama lain, menarik rambut antara satu sama lain, menampar antara satu sama lain, hingga berujung pada perkelahian. Akan tetapi, para santri tersebut tidak melerai mereka dan hanya diam melihatnya, karena para santri takut dan tidak mau ikut campur tentang masalah tersebut dan ada salah satu dari mereka merasa terganggu akan kegaduhan yang dibuat oleh Diah (16) dan Intan (20). Sampai pada akhirnya, pengurus asrama pun melihat kejadian tersebut dan melerai mereka berdua. Yang kemudian semua santri di asrama tersebut dikumpulkan di aula asrama termasuk juga Diah (16), Intan (20) dan ada juga Keke (16), Tika (16). Seluruh santri di asrama tersebut di sidang oleh para pengurus dan diawasi oleh Ibu Nyai asrama tersebut.
Di dalam persidangan tersebut diah (16) dan intan (20) tetap saja saling mengolo-olok satu sama lain tiada henti. Akhirnya, setelah selesai pengumpulan para santri asrama tersebut dan persidangan telah tutas, Diah (16) dan Intan (20) saling memaafkan. Diah (16) meminta maaf kepada Keke (16), Tika (16) dan santri lainnya dan mengakui atas kesalahannya yang mengambil barang milik orang lain tanpa seizin si pemilik dan tidak mengembalikan barang yang sudah dipakainya tersebut kepada si pemiliknya.
Kesimpulan yang saya ambil dari permasalahan di atas bahwa sebagian besar para santri yang berada di salah satu asrama pondok pesantren tersebut merupakan masyarakat yang memiliki karakter solidaritas patembayan yang organis yaitu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang mandiri atau tidak ingin merasa terganggu oleh orang lain. Yang mana pada umumnya di pondok pesantren itu para santrinya terdiri dari berbagai macam wilayah yang berbeda, suku yang berbeda, gaya kehidupannya yang berbeda dan  bahkan memiliki karakter sikap yang berbeda-beda yang perbedaan tersebut dicampur aduk menjadi satu dalam sebuah lingkup pondok pesantren yang kemudian akan menimbulkan  karakter para santri yang berdominasi mengarah seperti apa. karakter solidaritas paguyuban ataukah karakter solidaritas patembayan.

2 komentar:

  1. jadi menurut anda dipondok itu termasuk patembayan? bukankah kebersamaan dlm pondok itu semakin erat melebihi keluarga sendiri? bahkan banyak santri yang tdk mau pulang jika sudah terhasut dengan yang namanya "hidup nyatri"

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya bukan menganalisis kehidupan secara umum semua santri, hanya saja salah satunya. atau sebagian yang tidak terlihat ada yang memiliki solidaritas patembayan.

      Hapus