Manusia mempunyai banyak macam karakter yang dimiliki. Dengan
memilik berbagai macam karakter tersebut, setiap manusia pasti memiliki masa
beradaptasi maupun bersosialisasi. Kata beradaptasi maupun bersosialisali
tersebut tentu tidaklah asing bagi kita, di mana beraptasi adalah bagaimana
kita mencocokan atau memadukan diri kita dengan lingkungan yang berada di
sekitar kita pada saat itu dan bersosialisasi yang mana terjadi timbal balik
antar manusia. Namun banyak orang yang tidak mengetahui atau tidak mau tahu
tentang pentingnya masa seperti itu.
Manusia itu tidak bisa hidup sendiri, mereka hidup saling
bergantungan, saling membutuhkan. Meskipun begitu, ada banyak orang yang tidak
mau tahu tentang urusan orang lain dan hal seperti itu adalah wajar. Karena di
dalam Sosiologi Hukum menurut pemikiran ilmuan Emile Durkheim (Prancis) yang
membahas tentang hukum tepatnya mengamati prilaku masyarakat dari hukum
tersebut. Manusia memiliki bentuk solidaritas yang berbeda-beda antara
paguyuban dengan patembayan. Yang mana paguyuban merupakan solidaritas mekanis
(saling membantu, rasa kepedulian dijunjung tinggi), sementara patembayan
merupakan mekanisme organis (masyarakat terdiri dari orang-orang yang mandiri).
Pembagian tersebut, bisa dilihat dari tempat lingkungan sekitarnya seperti
halnya orang yang berdomisili di desa sebagian besar memiliki solidaritas
paguyuban yang saling peduli antara satu dengan yang lain. Sedangkan orang yang
berdomisili di deaerah perkotaan sebagian besar memiliki sikap solidaritas
patembayan yang terdiri dari orang-orang yang mandiri.
Akan tetapi, ada juga yang berdomisili di daerah pedesaan yang ada
salah satu orang mimiliki sikap solidaritas patembayan maupun sebaliknya yang
berdomisili di daerah perkotaan ada sebagian kecil masyarakatnya memiliki
solidaritas paguyuban. Tetapi, hal seperti itu bisa terjadi saja hanya sebagian
kecil bahkan sangatlah langka tergantung asal mula lingkup yang mereka tinggali
sebelumnya. Ada juga di suatu lingkup yang di dalamnya ada masyarakat memiliki
solidaritas paguyuban dan ada masyarakat yang memiliki sikap patembayan. Di
situlah manusia memulai bagaimana caranya untuk beradaptasi dengan baik antara
masyarakat yang memiliki solidaritas paguyuban dengan masyarakat yang memiliki
sikap patembayan. Dan jika mereka dapat melewati masa berapdatasi tersebut,
pastinya mereka bisa bersosialisasi antara satu sama lain dengan baik dan dapat
mengetahui masyarakat di lingkup tersebut berdominan memiliki sikap solidaritas
paguyuban atau memiliki sikap solidaritas patembayan.
Seperti contoh, di lingkup pondok pesantren yang mana ada banyak
berbagai macam manusia, berbagai macam kalangan dan berbagai macam sifat yang
dimiliki oleh berbagai macam santri yang berada di dalam lingkup pondok
pesantren tersebut. Dan tidak asing lagi bagi orang yang mondok (santri) yang
suka mengghosop barang milik temannya. Ghosop merupakan bahasa popular yang
dimiliki para santi yang artinya adalah meminjam barang apapun tanpa izin
kepada sang pemiliknya akan tetapi pada akhirnya barang pinjaman tersebut akan
dikembalikan kepada sang pemiliknya. Mungkin, sebagian orang banyak yang
mengira bahasa mengghosop tersebut beda-beda tipis dengan mencuri. Namun, istilah
mengghosop tersebut sudah menjadi kebiasaan atau adat, karakteristik atau ciri
khas para santri itu sendiri.
Di salah satu pondok pesantren modern yang terkenal di Jawa Timur,
memiliki kawasan pondok pesantren yang cukup luas sekali. Memiliki asrama putra
dan putri yang totalnya berjumlah kurang lebih 25 asrama. Serta memiliki beberapa
unit sekolah dari tingkat taman kanak-kanak sampai tingkat perkuliahan. Salah
satu asrama di pondok pesantren tersebut memiliki santri tidak terlalu banyak.
Salah satu santri di asrama tersebut adalah Diah (16), Diah merupakan anak dari
keluarga yang cukup mampu. Asrama yang ditempati oleh Diah (16) tersebut
menjadi satu dengan para mahasiswa di sana. Pada suatu kejadian, Keke (16)
santri di asrama tersebut juga sering kali kehilangan salah satu peralatan
mandinya yang ditaruh di depan kamarnya, dihari yang lain Keke (16) juga kehilangan salah satu kaos kakinya yang
sudah dipakai yang berada di tempat sepatunya. Ternyata bukan hanya Keke (16) saja
yang mengalami kehilangan barang berkali-kali. Tika (16) juga santri di asrama
tersebut kehilangan kerudung sekolahannya yang pada saat itu kerudung tersebut mau
dipakainya.
Keesokan harinya, Keke (16) menemukan peralatan mandinya berada di
salah satu kamar mandi asramanya yang tidak tahu siapa yang sehabis memakai
tersebut tanpa izin dan ada santri lain yang mengatakan bahwa peralatan tersebut
habis dipakai oleh Diah (16) tanpa tahu bahwa itu milik Keke (16). Kemudian Tika
(16) memergoki diah (16) menjemur kerudung di jemuran atas yang ternyata
kerudung tersebut adalah kerudung milik Tika (16). Lambat laun Keke (16) dan Tika
(16) mulai kesal, tetapi mereka tetap diam dan hanya mengawasi setiap gerak-gerik
yang dilakukan oleh Diah (16). Ternyata bukan hanya keke (16) dan tika (16)
saja yang mengalami kejadian tersebut, santri lain juga mengalami hal yang
serupa dengan berbeda barang yang diambil oleh Diah (16), terutama para
mahasiswi yang menjadi korban. Diah (16) dipergoki oleh para mahasiswi berkali-kali,
dan pada saat ditanya Diah (16) tidak merasa mengambilnya. Padahal jelas-jelas
terpampang nyata bahwa diah (16) sering mengambil barang para santri lain dan
para mahasiswi yang kemudian Diah (16) memakai barang tersebut tanpa merasa
bahwa ia mengambilnya tanpa izin para pemiliknya. Para mahasiswi mulai geram
akan kelakuan Diah (16) tersebut. Salah satu mahasiswi yang bernama Intan (20) mulai
menindak lanjuti yang diperbuat oleh Diah (16). Pada siang hari waktu isoma
(istirahat, sholat, makan), Intan (20) menemui Diah (16) untuk mengintrogasinya
di kamar yang di tempati oleh Diah (16).
Akan tetapi, dengan tenangnya Diah (16) tetap tidak mengakui
perbuatannya tersebut yang jelas-jelas membuat resah para santri lainnya. Pada
saat itu ada banyak santri yang berada di sekitarnya, tapi mereka tidak
menghiraukan akan adanya perdebatan tersebut. Bahkan ada kamar sebelah yang
langsung menutup pintu kamarnya ketika Intan (20) dan Diah (16) bertengkar
hebat. Pertengkaran tersebut berlanjut cukup lama, dimulai dari saling
mengolok-olok satu sama lain, menarik rambut antara satu sama lain, menampar
antara satu sama lain, hingga berujung pada perkelahian. Akan tetapi, para santri
tersebut tidak melerai mereka dan hanya diam melihatnya, karena para santri
takut dan tidak mau ikut campur tentang masalah tersebut dan ada salah satu
dari mereka merasa terganggu akan kegaduhan yang dibuat oleh Diah (16) dan Intan
(20). Sampai pada akhirnya, pengurus asrama pun melihat kejadian tersebut dan
melerai mereka berdua. Yang kemudian semua santri di asrama tersebut dikumpulkan
di aula asrama termasuk juga Diah (16), Intan (20) dan ada juga Keke (16), Tika
(16). Seluruh santri di asrama tersebut di sidang oleh para pengurus dan
diawasi oleh Ibu Nyai asrama tersebut.
Di dalam persidangan tersebut diah (16) dan intan (20) tetap saja
saling mengolo-olok satu sama lain tiada henti. Akhirnya, setelah selesai
pengumpulan para santri asrama tersebut dan persidangan telah tutas, Diah (16)
dan Intan (20) saling memaafkan. Diah (16) meminta maaf kepada Keke (16), Tika
(16) dan santri lainnya dan mengakui atas kesalahannya yang mengambil barang
milik orang lain tanpa seizin si pemilik dan tidak mengembalikan barang yang
sudah dipakainya tersebut kepada si pemiliknya.
Kesimpulan yang saya ambil dari permasalahan di atas bahwa sebagian
besar para santri yang berada di salah satu asrama pondok pesantren tersebut
merupakan masyarakat yang memiliki karakter solidaritas patembayan yang organis
yaitu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang mandiri atau tidak ingin
merasa terganggu oleh orang lain. Yang mana pada umumnya di pondok pesantren
itu para santrinya terdiri dari berbagai macam wilayah yang berbeda, suku yang
berbeda, gaya kehidupannya yang berbeda dan bahkan memiliki karakter sikap yang
berbeda-beda yang perbedaan tersebut dicampur aduk menjadi satu dalam sebuah
lingkup pondok pesantren yang kemudian akan menimbulkan karakter para
santri yang berdominasi mengarah seperti apa. karakter solidaritas paguyuban ataukah karakter solidaritas patembayan.
jadi menurut anda dipondok itu termasuk patembayan? bukankah kebersamaan dlm pondok itu semakin erat melebihi keluarga sendiri? bahkan banyak santri yang tdk mau pulang jika sudah terhasut dengan yang namanya "hidup nyatri"
BalasHapussaya bukan menganalisis kehidupan secara umum semua santri, hanya saja salah satunya. atau sebagian yang tidak terlihat ada yang memiliki solidaritas patembayan.
Hapus