Senin, 01 April 2019

BAHAYA LATEN KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME



DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME (KKN) BAGI MASYARAKAT DI INDONESIA


A.    Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi bisa disebut dengan perbuatan menyelewengkan/ menyalahgunakan/ menggelapkan uang negara atau uang yang bukan haknya hanya untuk kepentingan pribadi maupun orang lain. Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain sebagainya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan pada negara. Korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji yang dapat merugikan suatu bangsa dan negara.
Pada umumnya, korupsi adalah benalu sosial yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain itu, korupsi merupakan  bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi menyimpang, karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika, melanggar aturan hukum, dan terlebih melanggar aturan agama.
Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus yang terbilang cukup banyak. Akan tetapi, banyak juga kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan yang telah dibungkar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa unsur-unsur tindak pidana korupsi antara lain:
1.      Perbuatan melawan hukum;
2.      Penyalahgunaan kewenangan;
3.      Kesempatan atau sarana memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi;
4.      Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
2.      Penggelapan dalam jabatan;
3.      Pemerasan dalam jabatan, dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/ penyelenggara negara);
4.      Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/ penyelenggara negara).

B.     Kolusi
Kolusi adalah tindakan persekongkolan, persekutuan atau permufakatan untuk urusan yang tidak baik. Kolusi ini biasanya diwarnai dengan korupsi yaitu penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh salah satu pihak atau pejabat negara. Kolusi adalah suatu kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara, kerja sama secara rahasia, ilegal, dan melanggar hukum hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi para pelakunya.
Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.

C.    Nepotisme
Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. perbuatan mengutamakan kerabat atau keluarga sendiri didasari rasa kesukaan dan kecenderungan bukan karena kemampuan, untuk memegang suatu jabatan. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.

D.    Undang-Undang tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Walaupun sudah sangat jelas ditegaskan di dalam UUD, namun masih saja KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) banyak diperaktikkan dalam kehidupan nyata baik itu di dunia secara umum atau di Negara Indonesia secara khusus.

E.     Dampak dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Kumpulan penyakit yang kemudian dikenal dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) ini dianggap telah menggerogoti institusi-institusi pemerintahan dan institusi politik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Korupsi dan kolusi, telah menjadi salah satu prioritas. Pembentukan dan sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi senjata ampuh guna meredam kegiatan korupsi di segala lini pemerintahan. Hasilnya, banyaknya pejabat pusat dan daerah, maraknya anggota dewan yang terjaring akibat kasus-kasus korupsi. Berbeda dengan kedua virus tersebut, saudara dekat mereka, yakni nepotisme seolah-olah tidak menjadi perhatian serius oleh sebagian pihak. Mungkin nepotisme tidak terlalu mencolok dan menimbulkan kerugian yang terlampau besar. Melalui nepotisme, terjalin jejaring, terutama keluarga yang erat sehingga tidak ada fungsi saling mengontrol yang ketat, dan tentu saja berpotensi untuk saling “memaafkan” jika terdapat sebuah kesalahan (eror) yang memiliki implikasi-implikasi tertentu.
Dalam prakteknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang otentik. Di samping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi di mata masyarakat.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) juga menjadi penyebab rendahnya daya saing suatu daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/daerah maupun semakin jeleknya kualitas dan kuantitas layanan publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuh kembangnya budaya dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust terhadap pemerintahnya. 
Perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. 
1.      Bahaya Laten Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Bahaya laten adalah sebuah kondisi keadaan yang menjadi sangat berbahaya jika hal tersebut benar-benar terjadi karena dapat merusak konsep dan keseluruhan nilai yang ada. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dapat menjatuhkan sebuah rezim dan bahkan menyengsarakan suatu bangsa sebab korupsi merupakan suatu penyelewengan untuk kepentingan pribadi, sedangkan kolusi merupakan suatu persekongkolan rahasia untuk maksud dan tujuan yang tidak terpuji dan npotisme merupakan suatu kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara sendiri dalam suatu jabatan dilingkungan pemerintahan.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar). Menurunnya tingkat kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN.
2.      Akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Akibat korupsi adalah ketidak-efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha, terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Akibat-akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini adalah sebagai berikut:
a.       Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap;
b.      Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya;
c.       Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

F.     Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap produk-produk hukum di atas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa ke meja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi di lapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus di masa orde baru ada yang sampai ke meja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang diputuskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita Acara Perkara-nya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. 
Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan  semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata rantainya.

Rabu, 27 Maret 2019

KETIDAKADILAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA





Negara Indonesia adalah negara hukum, kenapa dimikian? Karena segala sesuatu diselenggarakan dengan hukum dan berdasarkan hukum, hal ini dinyatakan bahwa negara Indonesia memiliki hukum yang wajib ditaati oleh semua masyarakat Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berdasakan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dapat diartikan bahwa negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan belaka, Negara Indonesia mempunyai 4 (empat) pilar negara sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia. Negara Indonesia didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi, serta setiap warga Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Hukum membatasi dan sekaligus memperkaya kemerdekaan warga negara. Hukum menekankan dampak negatif dan dampak positif yang ditimbulkan oleh warga negara. Hukum sendiri memiliki fungsi untuk mengatur suatu negara agar taat dan patuh pada peraturan di dalamnya. 
Sebagai negara hukum, tentunya penegakan hukum yang tidak memihak telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) di mana semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Untuk menerapkan Negara hukum, Indonesia dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip yang dijalankan oleh negara hukum. Setiap manusia berhak memperoleh keadilan, baik itu dari masyarakat maupun dari negara. Seperti yang tercantum dalam pancasila, sila ke-5 yang berbunyi, “keadlian bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada saat ini, Negara Indonesia telah berkembang menjadi salah satu negara yang sedang berproses disegala bidang yang khususnya pada bidang hukum. Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM) hukum harus menjadi panglima di dalam kerangka NKRI yang dinaungi oleh konstitusi negra UUD 1945 dan dasar negara pancasila. 
Ketika suatu negara berpatok kepada hukum yang mengatur, secara otomatis menjadikan penegakan hukum di dalam suatu negara hukum tersebut. penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegak hukum adalah sebuah proses dalam menegakkan hukum sesuai dengan norma yang berlaku di Indonesia secara benar. Tujuan dari penegakan hukum adalah untuk mencari kebenaran, keadilan, dan menciptakan kedamaian. Prosedur hukum pun sudah disusun sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya, yaitu suatu jaminan perlindungan hak dan keadilan. Namun, proses penegakan hukum di Indonesia tak pernah luput dari berbagai sorotan karena penanganan kasus-kasus hukum kerap dibelok-belokkan oleh para penegak hukumnya sendiri. Itulah yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum pun akhirnya luntur.
Secara luas, proses dalam penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa sajakah yang menjalankan aturan normatif atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, maka hal itu berarti telah menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Sementara, secara sempit dari aspek subjeknya, maka penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk dapat menjamin dan memastikan bahwa aturan  hukum itu  berjalan  sebagaimana  yang telah diatur seharusnya oleh aturannya. Hal ini untuk memastikan tegaknya  hukum,  apabila diperlukan untuk itu, maka aparatur  penegak  hukum  diperbolehkan akan menggunakan upaya daya paksa. Di dalam sudut pandang objeknya, yaitu dari aspek hukumnya penegakan hukum itu adalah pengertiannya juga mencakup makna luas dan sempit. Dalam arti luas, maka penegakan hukum mencakup pula adanya nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam bunyi aturan formal  atau nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hal yang berbeda di dalam arti yang sempit, maka penegakan hukum hanya terbatas kepada menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja dan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan aturan tersebut. Namun di lapangan penegakan hukum itu tidak seindah yang digambarkan oleh teori-teori hukum dan peraturan yang telah mengaturnya. Terdapat lebih dari satu masalah-masalah penegakan hukum dan untuk dapat membahas penegakan hukum lebih dalam dan dapat lebih jelas permasalahannya, maka dengan memperhatikan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi efektifitas dari penegakan hukum.
Adapun pihak penegak hukum yang merupakan aparat yang melaksanakan proses upaya untuk tegaknya atau berfungsinya noram-norma  hukum secara nyata, untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum. Penegak hukum adalah seorang yang berwenang dalam menjalankan aturan atau menjadi pemberi sanksi bagi pihak yang melanggar hukum. Aparat penegak hukum di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi (pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003), kepolisian Negara Republik Indonesia (pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002).
Setiap warga Negara Indonesia yaitu negara hukum, memiliki harapan tersendiri terkait penegakan hukum yang memberikan perlindungan bagi setiap individu. Pada tataran konsep dan teori, penegakan hukum yang memberikan perlindungan bagi setiap individu merupakan hal ideal dan sifatnya wajib untuk dilaksanakan, namun pada tataran penerapan, hukum belum cukup melindungi masyarakat pencari keadilan (justitiabelen), terutama yang berkaitan dengan keadilan, kepastian hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan pemenuhan hak asasinya. 
Memang benar kondisi penegakan hukum di Indonesia secara umum dapat diibaratkan sebagai benang kusut yang disebabkan judicial corruption yang telah membudaya dan pola berpikir aparat penegak hukum terkait hak asasi manusia yang harus dilepaskan dari kultur lama. Di bidang hak asasi manusia, sayangnya, sebagian masyarakat Indonesia telah berubah dari masyarakat majemuk yang memiliki rasa sosial yang tinggi menjadi manusia Indonesia yang memiliki degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan. Hal ini diperlihatkan dengan aksi intoleransi, kekerasan, anarkisme, perlawanan terhadap petugas atau sebaliknya, saling serang antar golongan, dan lain-lain.
Hal tersebut dapat terjadi karena penegakan hukum tak berjalan sesuai dengan harapan sehingga masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri melalui bentuk-bentuk pengadilan massa yang berujung pada tindakan-tindakan pelanggaran HAM. Bahkan di lain sisi, sejarah menceritakan ada juga penegak hukum yang seharusnya melindungi hak asasi manusia warganya, malah berbuat sebaliknya. Penegakan hukum yang seharusnya adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang. Masyarakat tidak mungkin hidup tanpa hukum, karena norma-norma hukum itulah yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat.
Penegakan hukum di Indonesia terkesan masih berat sebelah, tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Maksudnya penegakan hukum di Indonesia tidak sama antara rakyat kecil dan para penjabat Negara. Hal yang tidak bisa dipungkiri pada jaman sekarang, orang yang lemah akan semakin ditindas. Hal ini banyak terlihat dalam hal penegakan hukum, masyarakat kecil sering dimarginalkan. Di tengah ketidakmampuan, mereka tidak mendapatkan bantuan hukum yang benar dan mamadai. Hukum hanya tajam kepada rakyat kecil. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi kalangan atas atau penjabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Penegakan hukum merupakan kewibawaan suatu negara sehingga hukum harus ditegakkan. 
Untuk menerapkan Negara hukum, Indonesia dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip yang dijalankan oleh negara hukum yang terdiri dari supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independen, peradilan bebas dan tidak memihak, perlindungan hak asasi manusia yang bersifat demokratis sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan menciptakan transparansi serta kontrol sosial. Penerapan hukum itulah dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, disamping sebagai alat pengendalian sosial. Namun dalam pelaksanaannya, beberapa kasus yang muncul akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hukum tidak memihak bagi warga kurang mampu.
Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Saat ini hukum di Indonesia yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat Negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik Negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Karena hukuman itu cenderung hanya berlaku bagi orang miskin dan tidak berlaku bagi orang kaya, sehingga tidak sedikit orang yang menilai bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang. Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. 
Penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Itu terlihat dari tidak tercapainya tujuan utama dari hukum di Indonesia itu sendiri yaitu keadilan bagi seluruh rakyatnya. Sepertinya sangat sulit sekali memperoleh keadilan di negeri ini, padahal hukum yang ada di Indonesia sudah di susun dengan sangat baik bila dijalankan dengan benar. Namun kenyataan yang ada sekarang adalah hukum di Indonesia pelaksanaanya belum sesuai dengan yang sebagaimana mestinya. Ada 2 (dua) faktor utama mengapa hukum di Indonesia belum bisa berjalan dengan baik. Pertama, para aparat hukum yang ada belum optimal menjalankan perannya sebagai penegak hukum, terlihat dari kurang diamalkannya etika profesi yang ada oleh aparat hukum tersebut.  Faktor yang kedua adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya mentaati hukum, sehingga hukum bisa sesuai dengan fungsinya yaitu mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada, terlihat dari banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat mulai dari hal yang kecil.