Kali ini saya akan membuat artikel mengenai kepatuhan hukum.
Indonesia adalah Negara hukum, jadi otomatis semua kehidupan masyarakat
Indonesia diatur oleh hukum. Seperti halnya di kampus IAIN Tulungagung, aturan
untuk memakai baju yang sopan saat kuliah. Termasuk mahasiswi yang wajib
mengenakan kerudung dan berpakaian tertutup. Terkadang, setiap dosen memiliki
aturan tersendiri untuk dapat mengikuti kelasnya. Saya dari semester satu
sampai semester tiga ada berbagai macam peraturan yang berbeda-beda setiap
dosen. Ada yang boleh memakai celana untuk cewek saat perkuliahan dimulai, ada
juga yang tidak memperbolehkan memakai celana dan harus memakai rok. Masalah
tepat waktu tidaknya masuk perkuliahan setiap dosen juga berbeda, ada yang
memberi toleransi telat maksimal 10-15 menit, ada juga yang tidak memberikan
toleransi waktu yaitu harus tepat waktu. Peraturan-peraturan tersebut harus
dilakukan, jika tidak maka akan mendapat
sanksi yang sudah disepakati sebelumnya. Kejadian seperti itu bagi mahasiswa
termasuk saya merupakan kepatuhan hukum yang dikarenakan takut kena sanksi.
Secara otomatis mematuhi aturan tersebut karena takut terkena sanksi. Pada saat
saya di pondok, ada peraturan pondok yang tidak memperbolehkan keluar tanpa
izin alias kabur dalam segi apapun dan dalam alasan atau keperluan apapun,
kalau tidak boleh keluar tanpa izin ya harus dipatuhi. Kalaupun keluar dengan
izin, itu pun ada batas waktu untuk keluar, itu yang membuat saya malas untuk
izin kepada kamtib (keamanan ketertiban) di pondok kalau mau keluar.
Dan tahap-tahap jika mau keluar pondok contohnya keluar pergi ke pasar, jalan-jalan, asa urusan di luar pondok dan lain sebagainya, sebelumnya kita harus memiliki buku izin pondok yang pada saat itu bukunya berwarna merah muda, kita minta izin kepada bu nyai yang jika dibolehkan untuk keluar oleh bu nyai tersebut maka buku izin yang berwarna merah muda tersebut ada mendapat stempet atau tanda tangan bu nyai sebagai bukti perizinan tersebut. Lalu, kita pergi ke kamtib (keamanan ketertiban) untuk menunjukan buku izi berwarna merah muda tersebut dan menunjukan tanda tangan persetujuan bu nyai. Kemudian, kamtib memberikan stempel pondok pertanda bahwa boleh keluar podok dengan batas waktu tertentu, biasanya kalau saya keluar itu diberikan waktu dua jam saja. Sebelum diberi izin keluar pondok, oleh kamtib masih ditanya-tanya mau pergi kemana, urusan apa, mau ngapain, beli apa, dan masih banyak lagi. Jujur saja, saya pernah keluar tanpa izin di pondok, karena menurut saya kalau izin keluar pondok sebelumnya harus izin sana sini yang menurut saya itu sangat ribet. Saat itu saya diajak temen saya yang rumahnya sekitar pondok, sekolah di pondok tapi tidak mondok untuk mengembalikan songket yang habis dipakai untuk acara pentas seni tari di sekolahan. Tanpa izin sana sini yang ribet sekali, saya langsung berangkat sama teman saya yang tempatnya berada di luar pondok. Saya melalui jalan tikus yang tidak ada kamtib yang menjaganya. Namun, pada saat pulang mengembalikan songket tersebut, ada salah satu kamtib melewati jalan yang sama dengan kita lewati dan berpapasan dengan kamtib tersebut. Kita dihadang sama kamtib dan kamtib mengetahui bahwa saya merupakan salah satu santri di pondok tersebut, lalu saya dan teman saya dibawa ke kantor kamtib dan di introgasi oleh kepala kamtib kemudian di masukan ke data data bahwa saya melanggar peraturan pondok yang kemudian dikenakan sanksi serta teman saya hanya mendapat teguran saja karena dia bukan santri yang mondok di sana. Saya mendapat sanksi yaitu denda semen lalu di asrama dimarahin oleh pengurus pondok termasuk bu nyai serta di hukum menulis surat-surat Al-Qur’an dan disuruh mengaji di depan bu nyai sampai selesai dari juz 1-30 sehari. Setelah itu, saya tidak mengulangi keluar pondok tanpa izin lagi karena saya merasa kapok akan sanksi sanksi yang telah saya alami pada saat itu. Untuk menghindari sanksi pondok, jika mau keluar saya izin kepada pengurus pondok. Seperti itulah sekilas pengalaman saya mengenai kepatuhan hukum karena takut sanksi.
Dan tahap-tahap jika mau keluar pondok contohnya keluar pergi ke pasar, jalan-jalan, asa urusan di luar pondok dan lain sebagainya, sebelumnya kita harus memiliki buku izin pondok yang pada saat itu bukunya berwarna merah muda, kita minta izin kepada bu nyai yang jika dibolehkan untuk keluar oleh bu nyai tersebut maka buku izin yang berwarna merah muda tersebut ada mendapat stempet atau tanda tangan bu nyai sebagai bukti perizinan tersebut. Lalu, kita pergi ke kamtib (keamanan ketertiban) untuk menunjukan buku izi berwarna merah muda tersebut dan menunjukan tanda tangan persetujuan bu nyai. Kemudian, kamtib memberikan stempel pondok pertanda bahwa boleh keluar podok dengan batas waktu tertentu, biasanya kalau saya keluar itu diberikan waktu dua jam saja. Sebelum diberi izin keluar pondok, oleh kamtib masih ditanya-tanya mau pergi kemana, urusan apa, mau ngapain, beli apa, dan masih banyak lagi. Jujur saja, saya pernah keluar tanpa izin di pondok, karena menurut saya kalau izin keluar pondok sebelumnya harus izin sana sini yang menurut saya itu sangat ribet. Saat itu saya diajak temen saya yang rumahnya sekitar pondok, sekolah di pondok tapi tidak mondok untuk mengembalikan songket yang habis dipakai untuk acara pentas seni tari di sekolahan. Tanpa izin sana sini yang ribet sekali, saya langsung berangkat sama teman saya yang tempatnya berada di luar pondok. Saya melalui jalan tikus yang tidak ada kamtib yang menjaganya. Namun, pada saat pulang mengembalikan songket tersebut, ada salah satu kamtib melewati jalan yang sama dengan kita lewati dan berpapasan dengan kamtib tersebut. Kita dihadang sama kamtib dan kamtib mengetahui bahwa saya merupakan salah satu santri di pondok tersebut, lalu saya dan teman saya dibawa ke kantor kamtib dan di introgasi oleh kepala kamtib kemudian di masukan ke data data bahwa saya melanggar peraturan pondok yang kemudian dikenakan sanksi serta teman saya hanya mendapat teguran saja karena dia bukan santri yang mondok di sana. Saya mendapat sanksi yaitu denda semen lalu di asrama dimarahin oleh pengurus pondok termasuk bu nyai serta di hukum menulis surat-surat Al-Qur’an dan disuruh mengaji di depan bu nyai sampai selesai dari juz 1-30 sehari. Setelah itu, saya tidak mengulangi keluar pondok tanpa izin lagi karena saya merasa kapok akan sanksi sanksi yang telah saya alami pada saat itu. Untuk menghindari sanksi pondok, jika mau keluar saya izin kepada pengurus pondok. Seperti itulah sekilas pengalaman saya mengenai kepatuhan hukum karena takut sanksi.
Kepatuhan hukum terhadap
hukum yang salah satunya adalah orang yang mematuhi hukum dengan keyakinan
(berdasarkan keyakinannya), biasanya kepatuhan ini berkaitan antara agama
dengan hukum yang berdasarkan keyakinan masing-masing. Di pondok dulu juga
banyak perbedaan pendapat atau keyakinan termasuk antara saya dengan teman
saya. Teman saya rumahnya tegal, sekamar dengan saya. Dia seorang yang sangat
religious, rajin beribadah, tirakat dan hobinya bersholawatan. Selama saya
sekolah bareng sama dia sampai sekarang dia kuliah di purwokerto, dia tidak
berpacaran. Dia menganggap bahwa pacaran itu diharamkan oleh agama Islam,
memang benar sih. Di dalam agama Islam berpengangan lawan jenis saja tidak
boleh, bersentuhan walaupun tidak sengaja bagi orang yang mempunyai wudlu saja
wudlunya batal dan harus berwudlu lagi, berjabatan tangan dengan lawan jenis
itu juga membatalkan wudlu, apalagi melakukan perbuatan pacaran dengan lawan
jenis. Jelas itu tidak diperbolehkan oleh agama Islam, karena itu termasuk
maksiat. Yang diperbolehkan oleh agama Islam adalah ta’aruf, bukan pacaran. Mungkin
pacaran banyak segir negatifnya makanya tidak diperbolehkan oleh agama Islam. Meskipun
begitu, banyak orang yang beragama Islam tetap saja berpacaran dengan lawan
jenis termasuk saya. Memang tidak dipungkiri, seorang yang sudah beranjak
dewasa memiliki perasaan senang terhadap lawan jenis itu wajar apalagi menjalin
hubungan berpacaran dengan lawan jenis. Termasuk saya, saya juga berpacaran
dengan lawan jenis. Beda dengan teman saya yang dari tegal itu tidak mau
berpacaran. Itu sekilas kepatuhan hukum terhadap hukum yaitu orang yang
mematuhi hukum sesuai dengan keyakinannya.
Pernah pada saat
saya pergi ke kota, terdapat di pinggir-pinggir jalan rambu-rambu lalu lintas
seperti sebuah tulisan atau gambar yang diartikan tidak boleh parker di tempat
tersebut, tidak boleh berhenti di tempat tersebut. Dan ada juga peringatan
untuk berjalan kurang dari 40km, seperti itu otomatis saya langsung mematuhinya
untuk tidak parker di tempat yang ada rambu-rambunya, untuk tidak berhenti di
tempat yang rambu-rambunya seperti itu karena hukum sudah berlaku dan hukumnya
memang seperti itu. Adapun pengalaman yang sehari-hari saya alami yaitu
menyebrang di depan kampus IAIN Tulungagung, di jalan depan kampus selalu ada
para satpam yang tugasnya untuk membantu para mahasiswa untuk lebih mudah
menyebrangi jalan dengan selamat. Untuk mengatur keramaian jalan, para petugas
satpam membawa alat yang di situ ada tulisan “stop”. Di saat tanda itu di
hadapkan oleh para pengemudi di jalan tersebut tanpa petugas satpam berkata,
secara otomatis para pengemudi berhenti serentak. Kemudian kita para mahasiswa
bisa menyrabang jalan dengan selamat. Lalu, ketika tanda itu di angkat, para
pengemudi jalan tersebut secara otomatis berjalan melanjutkan perjalanannya lagi.
Seperti itulah kepatuhan hukum secara otomatis dipatuhi karena sudah jelas, itu
merupakan orang yang patuh dengan hukum dan mematuhinya yaitu rambu-rambu lalu
lintas yang sudah ada dan tersedia di setiap jalan. Dan peraturan tersebut atau
hukum tersebut sudah berlaku.